Pemberlakuan European Union on Deforestation Regulation (EUDR) Masih Terus Mengkhawatirkan

Airlangga: Tarif PPN Naik 12% karena Rakyat Pilih Keberlanjutan
Pemberlakuan European Union on Deforestation Regulation (EUDR) Masih Terus Mengkhawatirkan/Dok. Kemenko Perekonomian

Peluang News, Jakarta – Pengaturan Uni Eropa (UE) mengenai produk bebas deforestrasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), yang pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019 merupakan salah satu komitmen untuk menilai bahwa langkah regulasi dan non-regulasi sisi permintaan tambahan dan memastikan tingkat playing field dan pemahaman bersama tentang rantai pasokan bebas deforestasi.

Selain itu, hal ini juga membahas tentang peningkatan transparansi rantai pasokan, meminimalkan risiko deforestasi, dan degradasi hutan yang terkait dengan impor komoditas ke Uni Eropa.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto melalui keterangan resminya mengatakan, komitmen ini juga telah dikonfimasi dengan kebijakan European Green Deal serta EU Biodiversity Strategy and the Farm to Fork Strategy, dan kemudian EUDR ditetapkan oleh UE pada 29 Juni 2023 lalu.

“Bahkan, pada perkembangannya, regulasi itu juga telah menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertentangan dari berbagai kalangan dan negara-negara karena proses pembahasannya dinilai tidak melibatkan negara-negara penghasil dari komoditas yang diatur dalam ketetapan EUDR tersebut, seperti kayu (timber), sawit, kopi, kakao, soya bean, karet, dan cattle,” kata Airlangga.

“Selain itu, EUDR juga tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat seperti ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi,” tambahnya.

Ia menjelaskan, usai surat pertama yang ditandangani oleh 14 negara pada 27 Juli 2022, keberatan terhadap pemberlakuan EUDR kembali disuarakan oleh like-minded countries dalam surat yang ditandatangani oleh Duta Besar (Dubes) atau Perwakilan dari 17 negara pada 7 September 2023.

“Like-minded countries berpandangan bahwa upaya penanganan isu deforestrasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim ada dalam kesepakatan multilateral yaitu principle of common but differentiated responsibilities melakukan diskriminasi dan menghukum terhadap 7 komoditas dalam EUDR, serta berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO),” jelasnya.

Mengenai hal ini, Indonesia bersama Malaysia juga menjadi negara yang turut menyuarakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut. Dipimpin oleh Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia, yang merangkap sebagai Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, Fadillah Yusof, keduanya telah melakukan misi bersama (joint mission) ke Brussels pada Mei 2023 lalu untuk bertemu dengan sejumlah tokoh penting di Komisi Eropa dan Anggota Parlemen Uni Eropa yang menangani ketentuan EUDR. Dalam kunjungan tersebut, keduanya menyampaikan mengenai keberatan dan potensi implikasi dari ketentuan EUDR tersebut apabila diterapkan.

Sebagai tindak lanjut dari kunjungan ke UE itu, kata Airlangga, pihak UE sepakat untuk membentuk suatu mekanisme dialog yang diusulkan pihak Indonesia dan Malaysia dalam suatu wadah yang disebut Joint Task Force (JTF) untuk membahas berbagai concern dan kehawatiran negara produsen terkait dengan rencana pelaksanaan EUDR yang akan mulai berlaku pada Januari 2025.

Kick off meeting dari JTF tersebut pun telah dilakukan pada 4 Agustus 2023 dan pertemuan kedua telah dilakukan pada 2 Februari 2024.

Airlangga memaprkan, terdapat lima fokus pembahasan dalam JTF itu, yaitu pembahasan mengenai masuknya petani kecil dalam mata rantai pasokan komoditas, gap analysis antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO), alat ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen (traceability tools), country benchmarking yang hingga kini belum tersedia metodologinya dan sumber data yg digunakan, hingga perlindungan atas data pribadi.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia tengah melakukan sejumlah upaya lain dengan menyusun platform digital yang berupa National Dashboard untuk memperkuat rantai pasok pekebun rakyat dan industri komoditas-komoditas yang terdampak oleh kebijakan EUDR.

Selain itu, sebanyak 27 Senator Amerika Serikat telah bersurat kepada Perwakilan Dagang Amerika Serikat Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper Amerika Serikat. Surat tersebut menyoroti persyaratan yang ketat dari EUDR, terutama mengenai traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi oleh industri pulp and paper di Amerika Serikat (AS).

Para Senator tersebut meminta agar Katherine Tai dapat terus berkomunikasi dengan para pemangku kebijakan di UE dan mendorong UE untuk mengakui bahwa Amerika Serikat memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di Amerika Serikat.

“Untuk respons Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangatlah merugikan, terutama bagi para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif. Sedangkan dari pihak UE sendiri, keberatan juga telah disampaikan oleh Asosiasi Utama Petani di Uni Eropa, Copa Cogeca, yang mengatakan tentang ketidakmungkinan untuk dapat melaksanakan ketentuan dalam EUDR pada waktunya,” pungkas Airlangga.

Exit mobile version