octa vaganza
Opini  

Pemberdayaan Desa Pasca Mudik

Mudik, sebuah perjalanan massal pulang kampung kini sudah jadi tradisi tahunan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, terutama oleh para perantau dagang atau pekerja migran perkotaan. Tradisi yang mulai marak sejak era 1970-an ini adalah sebuah medium kesadaran intrinsik, di mana saat idulfitri para pemudik terpanggil pulang ke kampung atau desa mereka masing-masing. Nilai intrinsik agamis termanifestasikan melalui sungkeman anak pada orangtuanya, menyambung silaturahmi dengan handaitaulan, sahabat serta menziarahi makam para leluhur.

Outcome-nya adalah kian mengentalnya ikatan kekerabatan. Sementara nilai ekstrinsik mudik terlihat pada hidupnya perekonomian di daerah.  Sejumlah restoran, destinasi wisata, hotel dan tempat-tempat hiburan dipadati pengunjung dari kota. Namun seusai Lebaran, nilai-nilai tersebut meredup ketika  pemudik kembali ke kota tempat kerja mereka, suasana desa pun sunyi seperti sediakala.

Setelah tiga tahun terkendala pandemi covid-19, tahun ini mudik terasa instimewa. Pemerintah tidak hanya mengizinkan tradisi tahunan ini berlanjut, tetapi juga mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Akibatnya, jumlah pemudik melonjak drastis. 

Data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memprediksi  pergerakan masyarakat saat mudik Lebaran 2023 mencapai 123,8 juta orang. Meningkat 44,79% dibandingkan dengan prediksi mudik Lebaran 2022 sebesar 85,5 juta orang. Kenaikan yang amat signifikan ini tentu tidak terlepas dari kondisi perekonomian di dalam negeri yang kian membaik. Kita tahu, para pengamat ekonomi dan lembaga keuangan internasional memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia paling rendah tahun 2023 adalah 4,5%, bandingkan dengan pelambatan ekonomi global yang diprediksi hanya tumbuh antara 2,3 % hingga 2,9%. 

Membaiknya perekonomian kita memang ditopang naiknya tingkat permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi. Sektor penting lainnya yang ikut mendongkrak pertumbuhan tersebut antara lain meningkatnya aliran masuk Penanaman Modal Asing, berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (infrastruktur) serta nilai ekspor yang tetap positif dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 12,8% pada 2023. 

Alhasil, kendati aroma covid-19 belum sepenuhnya berlalu, namun perekonomian nasional secara umum dalam keadaan baik-baik saja. Hal itu tercermin dari arus para pemudik yang meningkat signifikan. Kemenhub mengungkapkan dari sebanyak 123,8 juta pemudik, yang menggunakan mobil pribadi sebanyak 27,32 juta orang atau 22,07% dari total pergerakan masyarakat pada mudik lebaran 2023. Selanjutnya, pengguna sepeda motor 25,13 juta orang (20,3%); moda bus 22,77 juta orang (18,39%), kereta api antarkota 14,47 juta orang (11,69%), dan mobil sewa 9,53 juta orang (7,7%). Pemudik terbesar masih tetap di Jawa, yaitu sebanyak 77,3 juta orang atau 62,5% dari total pergerakan masyarakat di mudik lebaran 2023. Yang patut kita acungi jempol tentunya, pemerintah dalam hal ini Kemenhub yang terbukti mampu me-manage arus mudik dan juga arus balik terbesar sepanjang sejarah ini.

Membaiknya perekonomian para pemudik berimplikasi dengan besarnya arus dana yang masuk ke daerah atau pedesaan.  Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengungkapkan perputaran ekonomi di musim mudik dan libur lebaran 2023, khusus bidang pariwisata diproyeksikan mencapai Rp240 triliun. Angka ini dengan asumsi rata-rata pengeluaran Rp1,94 juta per orang dikalikan dengan total jumlah pemudik. 

Asumsi lainnya adalah dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Lembaga ini secara spesifik memprediksi putaran uang di daerah selama liburan Lebaran mencapai Rp92,25 triliun dengan asumsi satu keluarga yang terdiri atas 4 orang menghabiskan uang rata-rata Rp3 juta. 

Terlepas dari asumsi keduanya, namun jumlah uang beredar yang disebutkan itu sungguh sangat besar. Pemerintahan di desa seyogianya dapat memanfaatkan putaran dana yang besar itu untuk menggerakan ekonomi masyarakat di wilayahnya. Menggelar malam keakraban atau temu wicara dengan para pemudik di pendopo kabupaten/kota misalnya, tentu sangat strategis dan dapat menjadi input bagi pengembangan ekonomi desa ke depan. Setidaknya kita ingin desa mampu tumbuh dengan ciri khas ekonomi masing-masing sehingga, ketika tiba saatnya kembali ke kota, pemudik tidak lagi membawa rekan atau sanak keluarganya bekerja ke kota, sebab desa sudah punya lapangan kerja yang layak dan menjanjikan.

Melalui ajang temu wicara antara pemerintah daerah dengan para pemudik agaknya bisa dicarikan jalan keluar untuk bagaimana menumbuhkan ekonomi desa sehingga dapat menekan laju urbanisasi.  Bukankah potensi sumber daya alam pedesaan sangat melimpah, seperti halnya Kabupaten Gunung Kidul yang dulu hanya kawasan gersang, kini berhasil disulap menjadi ikon destinasi wisata Yogyakarta. Jangan lupa desa juga punya potensi barang tambang yang menjanjikan seperti emas, nikel, timah, gas dan batubara.  Ambil contoh di Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, di sini cukup banyak industri rumahan yang memanfaatkan atau mengolah bongkahan batu gunung dan kali menjadi batu alam dinding yang unik dan artistik.

Belasan tahun lalu, Pemkab Cirebon sudah menyediakan 4,8 ha lahan untuk relokasi tempat usaha industri batu alam tersebut, karena di lokasi saat ini terkendala oleh pembuangan limbah yang dianggap mencemarkan aliran sungai. Namun, rencana tersebut tak kunjung terealisasi lantaran Pemkab tidak mengalokasikan anggaran. Hal itu diakui Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan dan Penataan Hukum pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon, Yuyu Jayudin saat berbicara kepada pers, Selasa (7/3/2023). Padahal, lanjut Yuyu, hampir setiap tahun pihaknya mengajukan anggaran tetapi selalu tidak dapat dipenuhi.

Kasus berkepanjangan ini tentunya bukan soal sepele karena menyoal kesehatan lingkungan dan kepastian berusaha. Alangkah bijak jika dihari baik, bulan baik idulfitri ini, Pemkab Cirebon mengundang para pemudik asal Dukupuntang berembug dalam sebuah temu wicara untuk mencari cara terbaik menyelesaikan relokasi industri batu alam. Hal ini memunginkan jika pemerintah daerah memang bersedia membuka ruang dialog dan melakukan urun rembug (brainstorming) dengan pemudik.

Kembalinya para pemudik ke desa mereka, bisa menjadi saluran dialog yang lebih sehat, karena pemudik umumnya lebih terdidik atau setidaknya mengenyam kehidupan di kota dengan pergaulan yang heterogen.  Bukankah kita tak mau lagi mendengar bahwa potensi alam yang kaya melimpah itu pada gilirannya digarap oleh pihak asing karena lemahnya ikatan emosional para pemudik dengan daerahnya.Lantaran itu, 123 juta gelombang pemudik yang tahun ini ramai-ramai pulang ke desa, patut dijadikan sebagai momentum merevitalisasi dan merancang ulang pembangunan ekonomi di pedesaan. Pemudik tak sekadar larut dalam dimensi sosio kultural religius, juga ikut serta berkontribusi pikiran dan narasi pengembangan ekonomi desa.

Penulis adalah pemerhati perkoperasian nasional, Pimpinan Paripurna Dekopin

Menggelar malam keakraban atau temu wicara dengan para pemudik di pendopo kabupaten/kota misalnya, tentu sangat strategis  dan dapat menjadi input bagi pengembangan ekonomi desa ke depan. Setidaknya kita ingin desa mampu tumbuh dengan ciri khas ekonomi masing-masing sehingga, ketika tiba saatnya kembali ke kota, pemudik tidak lagi membawa rekan atau sanak keluarganya bekerja ke kota.

Exit mobile version