hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Pemangkasan TKD dan Disharmoni Fiskal Pusat—Daerah

Dari sisi regulasi dan konsistensi kebijakan, pemangkasan TKD 2026 bertentangan dengan semangat penguatan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam visi Astacita Presiden Prabowo.

Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) berdampak langsung pada belanja daerah dan berpotensi mengganggu roda pemerintahan, ujar Ketum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia sekaligus Gubernur Jambi, Al Haris.

Banyak kepala daerah merasakan beban berat akibat pemotongan ini, kata Haris bersama 18 gubernur dalam audiensi dengan Menkeu. Pasalnya, pemangkasan TKD mencapai 29,34% dibanding 2025. Dari Rp919 triliun menjadi Rp693 triliun.

Gubernur Sulteng, Anwar Hafid, menyebut daerahnya mengalami pemangkasan TKD 45%; Aceh 25%; Maluku Utara 60%, padahal di 2025 anggaran Maluku Utara hanya Rp10 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjawab, keberatan kepala daerah sebagai sesuatu yang wajar. Seharusnya daerah sejak awal sudah bisa mengelola anggaran dengan baik tanpa kebocoran.

Pakar otonomi daerah yang juga Guru Besar IPDN, Prof. Djohermansyah Djohan, menilai aksi sejumlah kepala daerah yang datang langsung ke Kemenkeu untuk menyampaikan keluhan soal pemotongan TKD merupakan sinyal serius yang tidak boleh diabaikan Pemerintah Pusat.

Kebijakan TKD seharusnya menjadi cerminan amanat konstitusi, khususnya Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, yang mengatur agar hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras. “TKD yang selama ini rata-rata sekitar Rp900 triliun, selama lebih kurang 10 tahun terakhir stabil di angka itu, tiba-tiba anjlok di tahun 2026. Saya melihat ini fenomena yang agak ganjil. Kepala daerah menggeruduk Kemenkeu,” ujar Djohermansyah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, menilai langkah para gubernur yang memprotes rencana pemangkasan TKD 2026 adalah sesuatu yang wajar. Isu pemangkasan TKD ini sebenarnya sudah muncul sejak 15 Agustus lalu, ketika pemerintah pusat membacakan Nota Keuangan dan RUU APBN 2026. Dalam dokumen tersebut, alokasi TKD hanya sebesar Rp649,9 triliun.

Dari sisi regulasi dan konsistensi kebijakan, Armand menilai pemangkasan TKD 2026 bertentangan dengan semangat penguatan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam visi Astacita Presiden Prabowo. Dalam logika desentralisasi, pemerintah pusat telah menyerahkan 32 urusan pemerintahan ke daerah, sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Seharusnya, setiap urusan itu didampingi dengan pendanaan yang memadai dan kompatibel.

Pemangkasan TKD akan berdampak besar terhadap tiga aspek utama: pertumbuhan ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik.

Tren pemangkasan sebenarnya sudah dimulai sejak awal 2025 melalui kebijakan Inpres Efisiensi, dengan pemotongan belanja infrastruktur daerah sebesar Rp50,59 triliun.

Selama 25 tahun terakhir, Pemda itu mengandalkan belanja modal untuk infrastruktur fisiknya itu dari DAK Fisik. DAK Fisik itu kemarin dipotong dari Rp36 triliun menjadi Rp18,5 triliun. Tahun depan menjadi Rp5 triliun, itu pun dibagi untuk semua kabupaten kota dan provinsi. “Penurunan ini akan sangat mengganggu belanja infrastruktur daerah,” ujarnya.

Akan muncul persoalan mulai dari gaji pegawai yang tak terbayar, tunjangan pegawai (TPP) dan P3K yang terabaikan, hingga terganggunya perbaikan infrastruktur seperti jalan dan pelayanan rumah sakit. Bahkan hubungan pusat dan daerah bisa memburuk. Djohermansyah menyarankan dua arah mitigasi: Pusat mestinya melakukan pemotongan TKD secara bertahap, bukan drastis; lalu Pemda didorong upaya efisiensi anggaran dan mulai membangun kemitraan dengan badan usaha untuk menggali potensi PAD, meski diakuinya ini tak selalu mudah.●

pasang iklan di sini