JAKARTA—-Keputusan Pemerintah Indonesia untuk meleburkan Badan Pengusahaan Batam dengan Pemerintah Kota Batam dan menjadikan Wali Kota Batam sebagai ex-officio BP Batam dinilai tergesa-gesa.
Keputusan itu bukan tidak sejalan dengan cita-cita Batam ke depan sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional.
Ketidakpastian akan cenderung meningkat pasca pengalihan BP Batam. Hal itu akan terkait dengan kepastian regulasi, peraturan lahan, infrastruktur hingga kepastian insentif bagi investor.
Keputusan itu juga melanggar aturan yang ada, antara lain pasal 76 UU No 23/2014 Tentang Larangan Kepala Daerah merangkap jabatan, agar tidak mengalami konflik kepentingan dan berpotensi abuse of power.
Demikian diungkapkan Direktur Institute for Development of Economics and Finace (INDEF) Enny Sri Hartati dalam diskusi publik bertajuk “Menakar Masa Depan Batam Pasca Pengalihan BP Batam,” di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
“Keputusan ini juga berpotensi memperburuk iklim investasi yang saat ini sudah menurun di Batam,” ujar Enny.
Dalam Rakor terbatas beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo bersama dengan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian memutuskan untuk meleburkan kepemimpinan BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam untuk mengehentikan dualisme pengelolaan BP Batam. Pemerintah menganggap kebijakan itu cara tepat untuk mengembalikan BP Batam sebagai daerah otoritas khusus.
Hal senada juga diungkapkan anggota Ombudsman La Ode Ida . Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ombudsman RI pada 2016, tidak ditemukan faktor dualisme yang menyebabkan penanganan serta performa BP Batam menjadi tidak lebih baik saat itu.
“Kami justru menemukan ketidakpuasan pihak pemerintah Kota Batam dan pergantian pimpinan BP Batam yang dianggap kaku dan tidak memahami budaya yang sudah ada di BP Batam,” ujar La Ode Ida dalam kesempatan yang sama.
Dikatakannya , BP Batam sebagai lembaga yang berwatak parastatal memiliki posisi yang setara dengan Kementerian/Lembaga di mana sumber keuangannya dari APBN dengan jalur pengawasan oleh Komisi VI DPR.
Otorita Batam digagas di era kepresidenan Soeharto atas inisiatif BJ Habibie. Pembentukannya berdasarkan PP No 74/1971 serta Keppres No 41/1973. Otoritas ini bertujuan menjadi kawasan investasi dan daerah industri terkemuka di Asia Pasifik, sehingga bisa bersaing dengan negara tetangga.
Di era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, BP Batam dengan Dewan Kawasannya nyaris tidak ada isu yang muncul untuk meleburkan Kepala Badan Pengelola Batam dengan Walikota Batam. Selain BP Batam di era tersebut diperkuat dengan UU No 53/1999 juncto PP No 46/2007 juncto UU No 44 Tahun 2007 juncto UU 87 Tahun 2011 (Irvan Sjafari).