JAKARTA—–Dalam berbagai referensi tabu adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat.
Dalam keperayaan berbagai kebudayaan pelanggaran terhadap tabu dipercaya dapat berakibat buruk bagi pelanggarnya. Sebetulnya tabu termasuk kearifan lokal.
Rumah Produksi Star Vision mengangkat pelanggaran terhadap tabu ini dengan judul agak bombastis, Tabu: Mengusik Gerbang Iblis. Dengan menggabungkan pelanggaran terhadap tabu ini dengan legenda hutan Leuweung Hejo, yang disebut sebagai hutan yang paling angker di Indonesia.
Sekalipun dalam film yang disutradarai oleh Angling Sagaran ini tidak dijelaskan kawasan yang diaksud, tetapi dalam referensi memang ada Gunung Hejo di kawasan Purwakarta, yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Siliwangi di kawasan Kabupaten Purwakarta.
Dari tokoh utamanya, ceritanya seperti kebanyakan film horor Indonesia (era milenial) melibatkan para remaja-sebetulnya juga film horor di berbagai negara. Enam anak remaja yang gandrung terhadap hal yang berbau angker yaitu Diaz, Keyla, Tio, Adis, Muti dan Mahir mendatangi hutan terlarang Leuweung Hejo.
Berberapa orang di antara keenam remaja itu melanggar berbagai pantangan yang sebelum pergi sudah diingatkan, yaitu tidak boleh berisik, omong kotor, mengambil sesuatu dan membuang sampah sembarangan.
Akibatnya, Diaz kesurupan dan hadirnya seorang bocah misterius yang tidak bisa bicara. Bocah itu kemudian dibawa Keyla pulang menjadi awal dari teror yang hadir tanpa henti. Anak kecil itu membuka gerbang bagi para mahluk gaib jahat yang tadinya terkunci di Leuweung Hejo untuk keluar.
Di sisi lain, Keyla punya rahasia keluarga yang bersangkutan dengan kejadian menyeramkan itu dan menjadi kunci misteri yang dihadapi mereka. Tabu: Mengusik Gerbang Iblis adalah film berikutnya apa yang pernah diungkapkan seorang Awi Suryadi sebagai old school horor, dengan ciri roh jahat atau iblis, kemudian ada tokoh spiritual.
Sejak Pengabdi Setan dari Djoko Anwar, diikuti Asih dari Awi Suryadi, Suzzana Bernafas dalam Lumpur, tampaknya film horor jenis ini akan menjadi tren menggeser film horor dengan pengaruh Jepang. Menurut produser Chand Parwez film horor tetap akan tinggi peminatnya pada masyarakat yang masih banyak percaya pada hal-hal yang gaib.
Faktanya pada 2018, separuh dari 15 boks office Indonesia didominasi oleh film bergenre horor. Variasi cerita dan perubahan visi para sineas yang tidak lagi menjual sensualitas perempuan yang jadi khas horor era 1990-an hingga era2000-an jadi faktor pendongkrak (Irvan Sjafari).