JAKARTA— Dari kalangan pelaku usaha kebijakan ini disambut dengan baik. Abdul Harris Effendy, seorang pengusaha kuliner Nasi Uduk di kawasan Kabantenan, Jakarta Utara melihat kebijakan ini terobosan yang baik untuk Ramadan.
“Jujur, saya belum tahu adanya kebijakan itu tapi sebagai pengusaha kuliner menyambut baik kebijakan ini dan mudah-mudahan bisa dijadikan peluang usaha. Hanya saja jadi tanda tanya apakah, kebijakan ini memberi dampak ekonomis bagi pelaku kuliner, belum tentu, “ujar Harris ketika dihubungi Peluang, Senin (12/4/21).
Persoalannya, katanya adalah pada berkurangnya daya beli konsumen. Kalau sebelum pandemi orang bisa membeli nasi uduk seharga Rp10-12 ribu, namun masa pandemi, hanya Rp6-7 ribu kemampuannya.
Omzet usahanya menurun hingga 40 persen. Kalau sebelum mampu meraup Rp700-800 ribu per hari, maka pada pandemi hanya Rp300-400 ribu, baik secara luring (offline) maupun daring (online).
Selain itu wilayahnya juga jarang dilewati oleh ojek daring dan Kawasan Berikat Marunda, yang sebelum pandemi, karyawannya menjadi sasaran segmennya juga terhenti. Paslanya kawasan itu juga mengurangi operasionalnya.
Hal senada juga diungkapkan Juwita Tara seorang pelaku kuliner Nasi mentai di Jakarta Utara. Menurut dia, kebijakan ini bisa membantu pelaku UKM dan dia kemungkinan mengikuti jam buka operasional hingga 22.30. Hanya saja untuk sahur dia belum mampu melakukannya.
“Saya belum mengetahui adanya kebijakan ini. Apa pun kebijakan sebagai pengusaha, saya menurut,” ucap dia.
Sementara Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Wilayah DKI Jakarta Sutrisno Iwantono menyambut baik pelonggaran operasional restoran selama bulan Ramadan 2021. Kebijakan Anies ini memberikan napas segar bagi para pengelola maupun pekerja restoran untuk bangkit dari masa sulit selama pandemi Covid-19.
“Saya kira langkah ini bagus untuk memberi kelonggaran kepada restoran untuk bisa sedikit bangkit dari situasi sulit selama ini,” kata Sutrisno (Van).