JAKARTA—–Seminar Nasional bertajuk “Urgensi Menunggu UU Koperasi baru, menyongsong Reposisi Bisnis Koperasi Era Disruptif” yang diselenggarakan Majalah Peluang digelar di Jakarta, Rabu (16/1/2019). Seminar ini dibuka oleh Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi UKM Prof Rully Irawan M.si.
Tampil sebagai pembicara Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah Zubir , Pengamat Ekonomi Kerakyatan sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta Dr Reverisond Baswir, Asisten Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM Salekan.
Dalam seminar itu, selain para pembicara memaparkan pandangannya, para pelaku koperasi menyuarakan pendapatnya dan masukannya untuk kehadiran UU Koperasi baru yang dijanjikan terbit pada 2019.
Kenyataannya sejumlah pelaku koperasi mengaku tidak mendapatkan sosialisasi yang cukup, bahkan ada yang terkejut ketika mengetahui sejumlah pasal di dalamnya.
Di antara mereka Ketua Umum Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKPRI) Provinsi DKI Jakarta, Hasanuddin. Dia mengaku terperanjat ketika mengetahui Pasal 10, ayat 1 Draft RUU Koperasi yang berbunyi: Koperasi Primer didirikan oleh paling sedikit 9 (sembilan) orang.
“Jangan-jangan ini pasal titipan? Kalau sembilan orang, seorang suami, isteri, anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya bisa mendirikan koperasi. Apakah seperti ini koperasi yang diiginkan?” katanya mempertanyakan bagaimana pasal ini bisa muncul.
Pandangan lain juga disampaikan Presiden Direktur Kopsyah Benteng Mikro Indonesia (Kopsyah BMI) Kamaruddin Batubara jangan sampai ranci koperasi itu kumpulan orang bukan kumpulan modal. Karena yang dimaksud kumpulan orang di sini adalah yang menyetorkan modal masing-masing, tetapi mempunyai hak suara yang sama.
“Justru menyatukan modal dari banyak orang ini kekuatan koperasi. Sebagai contoh kekuatan gotong royong koperasi yang dilakukan Kopsyah BMI mengumpulkan modal dari anggota Rp100 ribu per orang dan hasilnya terkumpul Rp6 miliar untuk mendirikan toko bangunan,” ungkap Kamaruddin.
Sementara seorang pelaku koperasi lainnya Suroto mengingatkan agar koperasi juga bisa bergerak di bidang layanan publik, termasuk juga pelayanan listrik. Yang terpenting pemerintah dengan tegas menetapkan dan mengakui reposisi koperasi, termasuk nilainya, hingga proteksi yang dilakukan pemerintah.
“Kalau perlu seperti di Singapura, koperasi dibebaskan dari pajak oleh pemirintahnya. Sehingga ketika koperasi besar, halite diprotes pelaku bisnis, Lee Kwan Yew hanya menjawab: kalau begitu Anda (pelaku bisnis) berubah menjadi koperasi,” papar Suroto dengan berapi-api.
Masukan lain ialah adanya Lembaga Penjamin Simpanan Anggota, hingga soal Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) yang harusnya dijabat oleh pelaku koperasi.
Salah seorang pembicara Asisten Asisten Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM Salekan engakui masukan itu menarik. Banyak hal yang luput diperhatikan pengambil kebijakan maupun pelaku koperasi.
“Di antaranya UU Rumah Sakit, yang menyebutkan pendirian rumah sakit adalah PT. Padahal harusnya ketika masih dibahas dalam RUU disebutkan juga koperasi bisa mendirikan rumah sakit,” ucap Salekan (Irvan Sjafari).