Ada kecurigaan pedagang ikut bermain. Tapi, minimalisasi penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP) ternyata ikut menyusutkan produktivitas ayam.
TIDAK sulit menjawab mengapa harga bahan pangan, seperti telur ayam di beberapa wilayah, melonjak tajam. Penyebabnya hanya dua. Kalau bukan kelangkaan, tentu saja ‘permainan’ pedagang. Kenaikan harga yang terjadi karena mekanisme pasar bukan masalah serius. Sangat mungkin karena barang itu sedang langka. Toh nanti akan menyesuaikan sendiri, dan biasanya tak tertlalu lama.
“Jika kelangkaan disebabkan ‘permainan’, di situ muncul persoalan,” ujar Fery Adrianus, dosen jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Pedagang yang memonopoli telur di daerah tertentu, misalnya, akan berdampak tak sehat bagi perekonomian. ‘Permainan’ maksudnya adalah stok telur sebenarnya banyak, tapi dimonopoli oleh pedagang besar. “Karena mereka pegang stok, ‘permainan’ mereka akan menyulitkan pedagang kecil,” tutur Fery.
Satuan Tugas (Satgas) Pangan kini menyelidiki penyebab harga telur dan daging naik secara drastis. Pasalnya, tidak ada masalah mulai dari peternak hingga jalur distribusi. “Para peternak sendiri mengatakan stok cukup. Harga di kandang tidak naik setinggi di pasaran,” ujar Ketua Satgas Pangan Irjen Pol, Setyo Wasisto.
Apakah harga ini ‘dimainkan’ para pengepul, pangkalan, atau broker yang mengambil keuntungan kelewat tinggi. Laporan dari pedagang telur di Pulo Gadung, mereka membeli dari pengepul di peternakan saja sudah tinggi. “Ini sedang diteliti. Kalau farm gate tinggi, ada komponen pakan, kemungkinan tinggi harus diteliti lagi,” sebut Setyo.
Dari segi pakan ayam tidak ada kenaikan harga. Maka, Satgas mencurigai implikasi kebijakan yang melarang ayam disuntik AGP atau antibiotik. Tujuan kebijakan ini supaya masyarakat memperoleh telur yang bebas antibiotik. “Dengan tidak menggunakan antibiotik, produksi ayam berkurang. Selanjutnya, pasokan ke pasar menurun. Harga pun terdorong naik. Itu teori ekonomi dasar,” tutur Setyo.
Untuk itu, jika dalam sepekan harga tidak juga turun, Menteri Perdagangan akan mengambil tindakan penyelamatan. “Kita akan turun langsung dengan operasi pasar,” tuturnya. Kenaikan harga telur terdeteksi pascalebaran. Setyo mencatat, selain Jakarta, kenaikan harga juga melanda Blitar, Bandung, Tasik, Ciamis. “Ini naiknya kok nggak turun lagi, makanya kita perlu selidiki,” ujarnya.
Para pelaku usaha yang terkait industri telur ayam mengungkapkan beberapa faktor penyebab kenaikan harga. Antara lain, turunnya produktivitas ayam yang ditandai tingginya tingkat kematian ayam. Kondisi ini, kata Ketua Pinsar Petelur Nasional, Feri, berawal dari penyakit yang dipicu oleh penurunan penggunaan Antibiotic Growth Promoter atau AGP yang berfungsi sebagai vitamin. Cuaca esktrem di sejumlah wilayah juga ikut mempengaruhi.
Situasi saat ini, jumlah ayam petelur turun 20 persen, dan 5-10 persennya karena penyakit. “Selebihnya karena afkir yang normal jelang Lebaran. Itu kami potong karena karakteristik ayam petelur yang dagingnya keras dan dicari untuk opor, pasti carinya ayam petelur atau ayam kampung,” tutur Feri.
Pendapat senada dikemukakan Krissantono, Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas. Selain cuaca ekstrim dan pengurangan penggunaan antibiotik pada unggas, “Yang terasa sekarang, H-7 sama H+7 (lebaran) kandang praktis kosong,” ujarnya.●