octa vaganza
Ragam  

Pasca-Lelap Panjang ‘Pak Pos’

TATKALA era digital datang, SMS dan internet, nasib bisnis pos kolaps. Periode 2000-2008 masa paling suram PT Pos Indonesia, yang sejak 1995 tak lagi berstatus Perum. Bisnis surat pos anjlok. Jumlah lokasi layanan mereka yang tersebar 24.000 titik lebih dari Sabang-Merauke tak banyak membantu.

Keterpurukan terjadi sejak awal 2000. Periode 2004-2008 merugi Rp606,5 miliar. Pertengahan 2008, Dirut PT Pos, Hana Suryana, dilengserkan karena korupsi. Periode 2013-2014, permintaan layanan surat merosot dari 401,13 juta buah jadi 322,35 juta buah. Pengiriman paket turun 20 persen lebih. Jasa pengiriman uang hanya 22 juta transaksi pada 2014.

Transformasi dilakukan dengan membentuk holding company, revitalisasi bisnis inti, dan bisnis-bisnis baru. PT Pos masuk ke bisnis ritel hingga properti, dan asuransi; tanpa bantuan penyertaan modal negara (PMN). Kompetensi bisnis diperkuat di bidang kurir, logistik, ritel, jasa keuangan; pasar ekspedisi; dan menggandeng pemain e-commerce besar, Lazada.

Layanan cemerlang dirintis 2012, dengan membuka penjualan pempek online. Pusat belanja online dengan format e-marketplace ini—yang menjual produk dari makanan, oleh-oleh, fashion hingga elektronik—dikelola unit bisnis Galeri Pos. Dari jasa pengiriman pempek untung Rp120 juta per bulan, membukukan Rp2 miliar hingga akhir 2015, plus penjualan produk lainnya.

Kerja sama sinergitas dijalin dengan lima BUMN. Yaitu Bank Mandiri, PT Bio Farma, PT Kimia Farma, PT Telkom, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, PT Pertamina, pembentukan bank joint venture bersama dengan PT Taspen. “Selain akan memperkuat sektor usaha masing-masing, langkah ini merupakan bagian dari transformasi di semua lini,” kata Direktur PT Pos Indonesia, Gilarsi W Setijono.

Exit mobile version