hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Pasar Bergulir, Tumpangsari Online dan Pasar Djadoel

Penetrasi mobil-toko-keliling makin menggejala di banyak kota. Mereka ‘melahirkan’ pasar tapi bukan di lokasi pasar. Persis penjualan pisang Barangan/pisang Medan, yang mengibarkan outlet justru tidak di area yang dikhususkan untuk pasar pisang.

PASAR bergulir relatif dikenal di daerah-daerah. Mungkin tidak dari segi istilah, tapi sudah sangat tradisional dalam bantuk praktik. Kongkretnya, jika hari ini yang jadi pasar adalah desa/dusun A, besok dan lusa giliran desa B dan C. Begitu seterusnya. Maka, nama sebuah desa/dusun lazim pula disandingkan langsung dengan nama putaran hari pasar. Umpamanya, Pekan Selasa Mungka, Pekan Rabu Rao-rao, dan seterusnya.

Pola pasar tradisional ini, anehnya, belakangan agak cenderung diduplikasi. Di berbagai wilayah Japing (Jakarta Pinggiran), misalnya, kehadiran ‘pasar dadakan’ itu makin eksis dan diterima kalangan masyarakat menengah-bawah. Barang yang diperjualbelikan umumnya makanan, minuman, akseori/mainan atau ajang hiburan sederhana untuk anak-anak. Di sana tak ditemukan penjual sembako. Biasanya digelar ba’da Ashar dan berakhir sekitar pukul 21:30 WIB.

Apakah mereka yang disebut Pedagang Kaki Lima (PKL)? Jawabnya, ya. Sebelum istilah PKL populer, masyarakat mengenalnya dengan nama pedagang emperan jalan. Yang pasti, pelaku pasar bergulir itu adalah pedagang kecil. Mereka menjual barang-barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir yang sifatnya perseorangan dan bukan untuk usaha/nonbisnis.

Itilah PKL itu sendiri berangkat dari semacam perkeliruan. Disebut PKL karena berawal para penjaja dagangan biasanya menggunakan gerobak. Lima kaki yang dimaksud adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (dua roda dan satu kaki penyangganya ketika parkir). Saat ini, makna istilah PKL meluas karena dilekatkan juga terhadap pedagang di jalanan pada umumnya.

Penjelasan versi lain tentang PKL boleh jadi berasal dari masa penjajahan Belanda. Pemerintahan kolonial waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter. Sekian puluh tahun kemudian, saat Indonesia tak lagi negeri jajahan, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh pedagang untuk berjualan.

Krisis moneter 1997/1998 memicu derasnya pertumbuhan pedagang kecil di sembarang tempat. Tak hanya di pedestrian, halte-halte bus pun jadi sasaran. Pasar tumpah hadir di mana-mana. Kita menyaksikan surplus jumlah pedagang, over supplay. Dampaknya dirasakan langsung oleh pasar-pasar tradisional. Di Tenabang atau Proyek Senen Jakarta, misalnya, tak sedikit pedagang yang menjaga toko/kiosnya sambil mengantuk.

Berbarengan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan produk teknologi, PKL secara sinkron meng-up date diri. Mereka memanfaatkan fasilitas yang tersedia didorong oleh kian masifnya akses internet. Mobilitas mereka juga makin lincah dengan menjamurnya kendaraan roda empat. Gerobak dorong cikal bakal PKL tidak musnah, tapi perannya makin tergantikan oleh mobil-keliling.

Laju pertumbuhan mobil dari tahun ke tahun makin sulit dikendalikan. Itu tercermin dari tingkat kemacetan di mana-mana. Tidak hanya di Jakarta, di kota-kota besar lain pun kondisinya sama sebangun. Yogyakarta misalnya mencatat pertumbuhan mobil 28,3 persen, angka yang jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan nasional yang sekitar 19 persen.

Oleh kalangan pebisnis, pertumbuhan mobil yang luar biasa itu dimaknai sebagai peluang. Dengan mobil mereka jadi lebih leluasa bergerak ‘mendatangi’ calon konsumen. Pola jemput bola seperti itu terutama menyasar bisnis makanan dan camilan, meski kemudian merambah juga aneka sandang dan cenderamata.  Mobil pun memperoleh fungsi baru sebagai lapak (yang mudah) berpindah-pindah.

Cara berjualan mobil keliling ini sangat spontan. Sekumpulan anak muda bawaq mobil, lalu parkir begitu saja di tepi jalan yang tak terlalu ramai. Mereka tahu, pembeli akan datang dengan sendirinya. Kok yakin? Soalnya, media promosi mereka canggih, memanfaakan internet via jejaring sosial yang jumlahnya menjamur. Cukup dengan merilis produk yang ditawarkan dan memberitahukan lokasi parkir mobil keliling. Biasanya di pinggir jalan raya yang strategis.

Konsep mobil-keliling ini agak berbeda dengan konsep mobil-toko pada pedagang buah yang telah lama dikenal masyarakat. Mobil-toko menggunakan mobil pikup dan cenderung memilih lokasi tetap. Tidak jarang mereka harus menyewa tempat, baik kepada ‘aparat’ maupun preman. Sedangkan mobil-keliling berpindah-pindah dan promosinya dilakukan melalui jejaring sosial.

Konsep berjualan ini dapat ditemui di Bandung dan Yogyakarta. Mobil keliling ini menjadi peluang usaha baru. Tapi, di sisi lain berdampak negatif karena mengganggu kenyamanan berlalu lintas dan memicu kemacetan. Yang pasti, PKL mempunyai “teman baru” yaitu pedagang roda empat atau mobil keliling. Perbedaannya pedagang roda empat tidak perlu khawatir dengan razia Satpol PP. Mereka tinggal tancap gas saat mencium penggerebekan.

Fenomena mobil-keliling yang lebih spesifik bisa dijumpai di Pulau Bangka. Para pedagangnya full urang awak. Mereka guyub. Solid mirip entitas jejaring Kowarteg di Jakarta. Putaran pasar mereka di lingkaran Kota Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Babel. Yakni di wilayah Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Induk; sesekali juga beredar di Bangka Selatan dan Bangka Barat yang agak jauh. Ketika melapak di sebuah lokasi, mobil-keliling Bebl ini hampir menyajikan pasar seutuhnya. Mantan Walikota Pangkalpinang, Zulkarnain Karim, menyebut mereka dengan istilah “Ramayana Pindah”●(dd)

pasang iklan di sini