Tahun ini harganya sangat jatuh. Per kilogram cabut basah Rp5 ribu. Itu pun tidak langsung laku. Tahun lalu, per kilo cabut basah Rp15 ribu. Di pasar, harganya sekarang tak lebih dari Rp20 ribu. Dulu sampai Rp35 ribu.
PROGRAM swasembada bawang putih yang digadang-gadang Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, sejak tahun 2017 terancam gagal. Sebab, banyak petani mengeluh dan kapok menanam bawang putih. Dengan harga sedemikian rendah, tak sampai separo harga tahun lalu, jika mereka jual jelas bakalan rugi besar.
Imam mulai menanam bawang putih bersama kelompoknya selama 2018-2019. Saat itu permintaan bibit bawang putih cukup tinggi dari perusahaan karena adanya wajib tanam pengimpor. “Jadi, kami kerja sama dengan importir, di samping ada juga petani yang nanam sendiri. Petani banyak yang tanam bawang putih proyeksinya untuk pengadaan benih,” ujar Imam, asal Batu, Malang.
Kerja sama dengan importir tahun ini ditiadakan. Maka, hasil panen petani jadi numpuk, tidak terserap sama sekali. Petani rugi besar. Padahal, biaya tanam yang dikeluarkan cukup besar, sekitar 100-120 juta/hektare, yang hasilnya sekitar 8 ton/ha. “Hancur Mas. Kalau kemarin bisa laku di atas Rp20-25 ribu per kilogram, sekarang ini harga bawang putih kering hanya 10.000-11.000,” ucapnya.
Pada sisi lain, pedagang pasar induk Kramatjati justru tak terima pasokan. Haji Khoirul yang sudah puluhan tahun menjual bawang putih mengatakan justru tidak ada bawang putih lokal dijual di pasar. Pernah ada datang tahun lalu, setelah itu tidak muncul lagi. Dia merasa heran karena tak ada yang tawar bawang putih lokal kepadanya sampai hari ini. “Ke mana bawang putih lokalnya, ya?” tanyanya.
Kegagalan program swasembada bawang putih lokal terjadi juga pada tahun 2020. Kelompok Tani Rejeki Makmur Desa Segoro Gunung, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar di lereng Gunung Lawu tahun 2020 lalu menanam di atas lahan 60 ha. Mereka kapok karena, setelah panen, tidak ada pembeli yang datang.
“Tahun ini harganya sangat jatuh. Per kilogram cabut basah Rp5 ribu. Itu pun tidak langsung laku. Tahun lalu, per kilo cabut basah Rp15 ribu. Di pasar, harganya sekarang tak lebih dari Rp20 ribu. Dulu sampai Rp35 ribu,” kata Ketua Kelompok Taruna Tani Maju Desa Kalisoro, Bejo Supriyanto.
Wilayah Pancot memiliki lahan tanam bawang putih 40 hektare. Harga jatuh kaena tahun ini tak ada lagi pola kemitraan dengan importir. Untuk diketahui, Permentan No. 38/2017 mewajibkan importir bawang putih melakukan penanaman komoditas itu sebesar lima persen dari total kuota impor yang mereka ajukan. Importir lama harus memproduksi 10 persen agar RIPH terbit. Produksi tersebut diperuntukkan menjadi benih bawang putih yang akan ditanam kembali dalam periode selanjutnya.
Sepanjang 2016-2019 ada kemitraan importir dengan petani di empat Klaster yakni Tawangmangu, Jatiyoso, Ngargoyoso dan Jenawi. Petani diberi modal, saprodi sampai ke penjualan bawang putih lokal. Saat itu petani dimanjakan. Tahun ini, situasinya bertolak belakang. Lagipula, faktor cuaca yang kurang bersahabat mengakibatkan kualitas bawang yang dihasilkan kurang bagus.
Di rumahnya, Bejo menyimpan berton-ton bawang putih hasil panen September-Oktober lalu. Bawang putih bisa bertahan sampai delapan bulan disimpan. Ia berarap bawangnya terjual Januari atau Februari 2021. “Sampai sekarang belum ada tanggapan atau upaya pemerintah. Kami berharap pemerintah hadir dalam kondisi petani bawang yang terpuruk,” katanya.●