octa vaganza
Wisata  

Pariangan,Satu Dari Lima Desa Paling Jelitadi Dunia

Lokasinyadi Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Viewnya menghijau serba asri. Masyarakat mempertahankanwarisan khas budaya lokal. Baik itu rumah gadang, surau, prasasti dan masjid tradisional dari abad ke-19.

SEBUTANNYA Desa Wisata Nagari Tuo Pariangan. Sebuah nagari elok yang terletak di lereng Gunung Marapi, Provinsi Sumatera Barat. Berada di ketinggian 800–1.000 mdpl. Letaknya antara Batusangkar dan Padang Panjang. Posisinya yang di daerah pegunungan hasilkan kesuburan dan menebar hawa sejuk. Sawah berjenjang membentang memanjakan mata dari lereng Gunung Marapi hingga lembah-lembah di ujung sana. Bahkan hingga ke Danau Singkarak. Keindahan sepotong anugerah alam.

Pariangan patut dikatakan sebagai sebuah desa istimewa. Tambo, tradisi lisan Masyarakat Minangkabau, menyebut Pariangan sebagai desa atau nagari tertua tempat nenek moyang dan peradaban masyarakat bermula. Berbagai bukti mendukung status peradaban tua masyarakat Minangkabau di sana. Antara lain, Batu Lantak Tigo, Kuburan Panjang Datuak Tantejo Gurhano, Sawah Satampang Baniah, Lurah Indak Barayia, di samping beberapa bukti lain.

Industri pariwisata di Nagari Tuo Pariangan mulai berkembang pesat berkat publikasi Travel Budget USA, media pariwisata New York. Di situ disebutkan bahwa Pariangan termasuk salah satu dari lima desa terindah di dunia. Dalam artikel World’s 16 Most Picturesque Village yang ditulis Sandra Ramani yang dipublikasikan pada 23 Februari 2012, keasrian Nagari Pariangan, desa se luas 17,97 km² itu, disandingkan dengan Shirakawa-go di Jepang, Eze di Perancis dan Niagara-on-the-Lake di Kanada dan desa-desa lainnya ke dalam kelompok 16 desa terindah di dunia.

Nilai tambah nagari ini, antara lain, masyarakat masih mempertahankan warisan khas budaya Sumatera Barat, baik itu rumah adat (rumah gadang) Minangkabau, surau, prasasti dan masjid tradisional. Rumah adat atau sering disebut rumah gadang di sana umumnya masih berdiri kokoh. Tidak ada rumah di Nagari Pariyangan terbuat dari batu bata dan semen. Semua rumah dibuat dari kayu atau bambu dengan aksesoris ala Minangkabau yang khas. Rumah-rumah penduduk yang padat dibangun mengikuti kontur atau pola lereng gunung sehingga terlihat begitu rapi dan asri.

Prasasti Pariangan terdapat di depan Masjid Tuo Islah. Selain itu, masih ada tiga batu yang berukuran sama yang disebut juga Tigo Tungku Sajarangan, terletak di sekitar masjid tuo Ishlah. Daya tarik arkeologis lain nagari ini adalah Masjid Ishlah dari abad ke-19. Rumah ibadah itu dibangun Syekh Burhanuddin—seorang ulama terkemuka di Minangkabau. Sama sekali tidak mengadopsi rumah gadang sebagai arsitektur atapnya. Arsitektur masjid itu malah menyerupai kuil-kuil di Tibet. Masjid tua ini direnovasi pada 1920 dan 1994. Jadi semakin unik karena terdapat pancuran air panas langsung dari Gunung Merapi. Selain digunakan untuk umat Muslim mensucikan diri, pancuran ini dianggap sebagai sebuah keberkahan bagi masyarakat Pariangan.

Nagari Pariangan sejatinya adalah desa pertanian. Berada di ketinggian sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut membuat udara di Nagari Pariangan seluas 17,97 km² itu begitu sejuk. Secara geografis, Gunung Marapi masih aktif hingga saat ini. Gunung Marapi terakhir meletus pada 2014. Meski begitu, sangat sedikit orang yang tahu bahwa Nagari Pariangan adalah desa pertanian pertama di Minang. Sudah barang tentu tempat bercocok tanam itu dipilih para cerdik pandai melalui seleksi yang ketat. Tak mengherankan jika kesuburan tanahnya tergolong kelas satu.

Didukung sumber daya alam semacam itu, pertanian menjadi tumpuan penghidupan masyarakat Nagari Pariangan. Kedudukan sepetak sawah menjadi penting ketika bicara historiografi. Sawah yang diidentikkan dengan asal muasal pertanian itu lalu dinaikkan statusnya menjadi situs peninggalan. Lokasi tersebut dijuluki Sawah Gadang Satampang Baniah yang merupakan sawah pertama yang dibuka oleh Datuk Tantejo Garhano (leluhur masyarakat Minangkabau).

Nagari Pariangan juga menjadi cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau yang populer dengan sebutan nagari. Menurut sejumlah pengamat, sistem pemerintahan nagari sebelum 1980 sangat mirip dengan konsep polis pada masyarakat Yunan kuno yang lebih otonom dan egaliter. Pada saat itu sebutan yang dipakai bukanlah desa, melainkan nigari; maka jadilah Nagari Pariangan.

Pada 1981 pemerintah pusat menerbitkan undang-undang yang mengejutkan masyarakat adat. Sistem pemerintahan nagari diganti menjadi sistem pemerintahan desa ala Jawa. Hal ini membuat masyarakat Pariangan seperti kehilangan kemandirian dan semangat egalitarianismenya. Untunglah 19 tahun kemudian, pada 1999, muncul undang-undang tentang otonomi daerah. Terbitnya undang-undang ini memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan (kembali) nagari secara mandiri.

Struktur pemerintahan dan pemukiman antara nagari dan desa memiliki perbedaan yang sangat jauh. Struktur pemerintahan nagari terbentuk dari integrasi dari daerah-daerah kultura. Kepala nagari atau wali nagari dipilih secara kolektif oleh penduduk nagari berdasarkan keberhasilannya dalam menata masyarakat. Penduduk nagari telah membagi wilayah-wilayah sesuai dengan fungsinya, seperti daerah permukiman penduduk, lahan pertanian, hingga tempat ibadah. Wilayah pun telah terbagi menjadi hak guna dan hak pakai sesuai dengan ketentuan adat.

Sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau yang populer dengan sebutan nagari disebut berasal dari tempat ini. Secara etimologis, kata ‘nagari’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘nagarom’ yang berarti ‘tanah air’ atau ‘tanah kelahiran’. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan adat istiadat yang dipercaya dan dihormati masyarakat Sumatera Barat.

Desa Wisata Nagari Pariangan dapat ditempuh lewat jalur darat baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dari kota-kota besar di Sumatera Barat. Waktu tempuhnya hanya 90 menit dari Bandara Internasional Minangkabau, 2 jam dari kota Padang, 90 menit dari Kota Bukittinggi, 90 menit dari Kota Payakumbuh.●(Nay)

Exit mobile version