hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Parepare, Kota Perlintasan Minim Dimampiri Pengunjung

Kata Parepare ditulis di beberapa tempat. Antara lain terbaca begini, “Pura makkenna linro langkana Parepare”. Kalimat tersebut berarti “Kain penghias depan istana sudah dipasang”.

JULUKANNYA Kota Bandar Madani. Logis saja karena, semenjak dahulu, Parepare dikenal sebagai kota pelabuhan. Terutama untuk pelayaran tujuan ke (dan dari) Kalimantan. Dan sebagaimana kota pelabuhan pada umumnya, di jantung kota Parepare juga terdapat jalan atau wilayah—yang setara dengan Jalan Nusantara di Kota Makassar. Mau tak mau, wilayah ini dengan sendirinya populer karena denyut dan aroma kehidupan malamnya.

Letak Parepare berada di dalam kawasan Selat Makassar. Titik persilangan yang menghubungkan jalur lalu lintas transportasi dan perdagangan laut dari Jawa, MakassarKalimantan Timur, dan Kepulauan Maluku di bagian utara Nusantara. Karena posisinya yang di Kawasan teluk, Parepare menjadi daerah yang aman dari ombak laut. Luas wilayahnya 99,33 km² dengan penduduk 152.992 jiwa (2021).

Jika diperbandingkan, posisi geografis Parepare sangat mirip dengan Kota Cirebon di Pantura Jawa. Dilewati semua kendaraan darat, tapi jarang yang mampir. Sebab, posisi geografis kota ini serba tanggung. Ya karena tidak memiliki keunggulan local genius. Ya juga lantaran waktu tempuh berkendara dari Makassar ke Parepare hanya 2,5 jam, paling lama 3 jam. Itu setara dengan waktu tempuh Jakarta-Bandung.

Meski sudah lama menjadi Kotamadya, nyaris tidak terlihat perkembangan siginifikan di Parepare. Persis seperti Cirebon dalam posisinya sebagai kota kedua setelah Bandung. Padahal, Parepare punya cukup banyak keunggulan untuk menjadi kota wisata. Pantai panjang yang tertata rapi dengan view sunset yang menawan, pemandangan kota karena terletak di atas gunung, kota bawah (kota lama), pelabuhan dengan segala pernak-perniknya. Terutama pemandangan pantai panjang, yang menghadirkan lekukan elok Tanjung Ujung Lero.

Tentu saja ini bukan kota Pare yang di Kediri, Jawa Timur. Ini Parepare, kota terbesar kedua di Sulsel, yang berjarak sekitar 150 km ke arah utara dari Makassar. Pada awal perkembangannya, perbukitan yang sekarang ini disebut Kota Parepare dahulunya adalah semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring. Di sana keseluruhan tanaman tumbuh secara liar tidak teratur, tersebar dari dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota.

Kata Parepare ditengarai sebagian orang berasal dari kisah perjalanan Raja Gowa. Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tunipallangga (1547-1566), berjalan-jalan dari Kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai raja yang dikenal ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini. Spontan ia menyebut “Bajiki ni pare” “(Pelabuhan di kawasan ini) dibuat dengan baik”.

Pada masa lampau, di Kota Parepare terdapat dua kerajaan, yaitu Kerajaan Soreang dan Kerajaan Bacukiki. Kerajaan Soreang dibangun oleh seorang anak raja dari Kerajaan Suppa pada abad XIV. Sedangkan Kerajaan Bacukiki baru didirikan pada abad XV. Lama kelamaan, kawasan Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.

Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta pada kenyataannya sudah pula ramai dikunjungi orang-orang, Belanda merebut tempat ini. Kolonial dari Eropa itu menjadikannya sebagai kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda membangun markas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Titik pusat di Parepare ditetapkan untuk cakupan wilayah Ajatappareng.

Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda) dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare”.

Secara etimologi, kata Parepare merupakan kata dalam bahasa Bugis yang berarti Kain Penghias, yang biasanya digunakan pada banyak acara seperti pernikahan. Kata Parepare ditulis di beberapa tempat di kota ini. Antara lain terbaca begini, “Pura makkenna linro langkana Parepare”. Kalimat tersebut berarti “Kain penghias depan istana sudah dipasang”.

Selain berarti kain penghias, kata pare juga merujuk pada pelabuhan sebagaimana perkataan Raja Gowa saat berkunjung ke daerah tersebut. Disebutkan, sekitar abad XVI, Raja Gowa IX berkunjung ke Kerajaan Bacukiki dan Kerajaan Soreang. Dalam perjalanan di antara dua kerajaan itu, Raja yang ahli strategi sangat tertarik dengan pelabuhan yang ada di sana. Sang raja lantas berujar “Bajiki ni pare” yang artinya “Pelabuhan di kawasan ini dibuat dengan baik”.

Di kota Parepare inilah Presiden RI ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie, dilahirkan, 25 Juni 1936. Habibie wafat 11 September 2019 di Jakarta. Habibie merupakan presiden RI pertama yang bukan kelahiran Jawa.  Juga presiden pertama di era Reformasi. Sebelum jadi presiden, Habibie merupakan wakil presiden ke-7 yang mendampingi masa jabatan terakhir Presiden Soeharto. Habibie dikenal sebagai sosok genius, dan menginisiasi pembuatan pesawat karya dalam negeri bernama N-250 Gatotkaca.

Penduduk Parepare menggunakan bahasa Bugis dialek Parepare. Populasi Kota Parepare yang 153 juta jiwa pada tahun 2021 lalu menghuni daerah seluas 99,33 km². Penduduk kota ini terdiri dari beragam etnis, mulai dari Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Tionghoa, dan sebagainya. Bahasa resmi instansi pemerintahan yang digunakan di Kota Parepare adalah bahasa Indonesia. Namun demikian, bahasa daerah yang banyak digunakan di kota ini adalah bahasa Bugis, khususnya dengan dialek Parepare.

Kota Parepare memiliki sejumlah bangunan lama/tua yang telah ditetapkan menjadi situs cagar budaya. Cagar budaya adalah sebuah benda fisik yang merupakan bagian dari warisan budaya suatu kelompok atau masyarakat. Barang atau benda fisik itu bisa berbentuk bangunan bersejarah, karya seni, situs arkeologi, perpustakaan, bahkan museum.

Sejumlah tempat wisata tersedia di sini. Salah satunya Pantai Lumpue, yang sangat digemari masyarakat. Pantai Lumpue berada di Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare. Lokasi pantai ini berdekatan dengan fasilitas umum seperti masjid dan puskesmas, serta rumah-rumah dari bambu yang bisa disewa oleh pengunjung. Selain Pantai Lumpue, tempat wisata di Parepare lainnya ada Kebun Raya Jompie, yang dibangun pada tahun 1920. Kebun Raya Jompie ini luasnya mencapai 13,5 ha●

pasang iklan di sini