Diperkirakan Rp51,3 triliun dana masyarakat tersedot ke aktivitas judi online pada 2024. Ada juga potensi penerimaan negara yang lenyap dari sektor pajak, nilainya Rp6,4 triliun.
Praktik perjudian berbasis internet itu diam-diam tumbuh masif. Ia menyasar berbagai lapisan, dari anak kecil sampai orang tua; dari yang miskin sampai yang kaya. Dampaknya tak main-main: puluhan triliun rupiah tersedot ke luar negeri.
Transaksi judi online (judol) meningkat signifikan dalam tujuh tahun terakhir, mencapai Rp927 triliun. Padahal, peluang menang dalam judi online sangat kecil, hanya sekitar 2%, sementara sisanya mengalami kerugian. Sebab, algoritma judi online dirancang agar bandar selalu menang, dengan pemain awalnya dibiarkan menang untuk kemudian dipersempit peluangnya.
Peningkatan pesat jumlah dan nilai transaksi judol tampak jelas dari data PPATK. Sejak 2017, total akumulasi transaksi mencapai sekitar Rp927 triliun. Judol dan kekalahan memang saling melekat. Sejak 2021, laju perputaran uang judol makin drastis. Nilainya tembus lebih dari Rp300 triliun pada 2023 dan 2024. Hingga kuartal-II, nilainya sudah menyentuh Rp99 triliun. Itu berarti sudah sekitar 95% dari total perputaran uang judol sepanjang tahun 2022.
Sudah rahasia umum bahwa algoritma judi daring disetel sedemikian rupa supaya bandar pada akhirnya selalu keluar sebagai pemenang. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2024 menunjukkan, hanya 2,2% pemain yang (pernah) menang, 97,8% sisanya tekor alias boncos.
Judol, menurut M. Firman Hidayat, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), ikut berkontribusi menekan laju pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan simulasi awal, ia memperkirakan Rp51,3 triliun dana masyarakat tersedot ke aktivitas tersebut pada 2024. Ada juga potensi penerimaan negara yang lenyap dari sektor pajak, dengan nilai mencapai Rp6,4 triliun.
Jika perhitungan DEN akurat, judol berkontribusi terhadap penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 0,3%. Dari jumlah itu, sekitar 70% dana mengalir ke luar negeri. Sisanya berputar di dalam negeri melalui bandar dan operator judol. Padahal, jika seluruh uang itu dialihkan ke konsumsi rumah tangga atau investasi, dampaknya bisa menjadi pengganda bagi pertumbuhan PDB.
Grafik aktivitas judol memicu dampak lintas sektor, termasuk goyahnya stabilitas ekonomi rumah tangga. Menurut penelitian Algo Research, perusahaan riset ekonomi dan bisnis, judol membuat konsumsi masyarakat turun karena dana yang seharusnya untuk belanja dialihkan menjadi deposit judi. Perputaran ekonomi dalam negeri jadi melemah. Dampak aktivitas judol hitungan Algo Research lebih besar dari kalkulasi DEN, yakni PDB jadi susut 3,1% pada tahun lalu.
Satu hal yang pasti, efek judol langsung menghantam konsumsi rumah tangga. Pada 2018-2020, dampaknya relatif masih kecil, hanya sekitar 0,1-0,3% terhadap konsumsi dan kurang dari 0,1% terhadap PDB. Namun, sejak 2021, tekanannya meningkat tajam: konsumsi rumah tangga turun hingga 1% dan PDB terkoreksi 0,5%.
Parahnya, mayoritas pemain judol berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yakni di bawah Rp5 juta. Itu data dari PPATK. Sehingga, kerugian judi dapat menggerus kebutuhan pokok mereka. Porsinya mencapai 70,7%. Jika digabung dengan kelompok berpenghasilan Rp5-10 juta, para pecandu judol yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta bisa mencapai 85,6%.●(Zian)