Opini  

Paradoks Kemiskinan dan Gizi Buruk di Tengah Kelebihan Makanan di Indonesia

Paradoks Kemiskinan dan Gizi Buruk di Tengah Kelebihan Makanan di Indonesia

Oleh: Ahmad Subagyo*

Indonesia sedang dihadapkan pada suatu problema yang sangat antagonistis alias paradoks, yakni paradoks kemiskinan dan gizi buruk di tengah kelebihan makanan. Coba Bersama kita simak data-data berikut ini.

Kondisi prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022, namun target pemerintah adalah menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024 menjadi tantangan tersendiri karena tahun 2023 yang lalu hanya turun sebesar 3,8% poin, sehingga prevalensi stunting nasional maksimal turun menjadi 17,8% pada tahun 2024.

Masalah ini menjadi masalah global, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta merupakan balita stunting dari Indonesia. Masalah stunting ini tentunya tidak terlepas dari angka kemiskinan kita.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia setahun lalu pada Maret 2023 mencapai 25,90 juta orang atau 9,36% dari total penduduk. Angka ini menurun 0,46 juta orang dibandingkan September 2022 dan menurun 0,26 juta orang dibandingkan Maret 2022.

Indonesia juga sedang menghadapi kekurangan Pangan. Berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2023, tingkat kerentanan rawan pangan di Indonesia mengalami penurunan dari 14% di 2022 menjadi 13% di 2023, namun angka itu masih relatif tinggi.

Jumlah kabupaten/kota yang termasuk daerah rentan rawan pangan memang berkurang menjadi 68 kabupaten/kota, namun daerah yang diidentifikasi termasuk wilayah rentan pangan sebagian besar terletak di bagian Indonesia Timur dan daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), serta wilayah kepulauan.  Ini tantangan sejak awal pemerintahan Jokowi yang belum terselesaikan.

Dampak kekurangan pangan juga di tandai dengan adanya kekurangan gizi. Data Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan bahwa wasting (gizi kurang dan gizi buruk) mengalami peningkatan dari 7,1% pada tahun 2021 menjadi 7,7% pada tahun 2022.

Kasus underweight juga mengalami kenaikan dari 17,0% menjadi 17,1%. Padahal pemerintah memiliki target untuk mengurangi prevalensi gizi buruk pada anak dari 10,2% pada tahun 2018 menjadi kurang dari 7% pada tahun 2024, namun ternyata masih dua digit di akhir pemerintahan saat ini.

Angka gini ratio adalah ukuran ketidakmerataan distribusi pendapatan dalam suatu populasi, dengan nilai antara 0 (pemerataan sempurna) dan 1 (ketidakmerataan sempurna).

Pada Maret 2023, Gini Ratio Indonesia tercatat sebesar 0,388, turun tipis dari 0,391 pada September 2022. Meskipun ada penurunan, angka ini masih menunjukkan adanya ketidakmerataan pendapatan yang signifikan. Ketidakmerataan pendapatan di Indonesia masih cukup lebar.

Data dari BPS menunjukkan bahwa pendapatan 20% penduduk terkaya adalah 4,4 kali lebih besar dibandingkan dengan 40% penduduk termiskin. Ketidakmerataan ini mencerminkan adanya kesenjangan ekonomi yang signifikan antara kelompok kaya dan miskin di Indonesia.

Paradoks Makanan

Indonesia menghadapi masalah kelebihan bahan makanan di beberapa sektor, yang sering kali tidak terdistribusi dengan baik. Hal ini menyebabkan surplus di satu sisi dan kekurangan di sisi lain. Menurut Foodbank of Indonesia (FOI), kelebihan bahan makanan sering kali terjadi di tingkat produsen dan distributor, sementara banyak masyarakat yang masih mengalami kekurangan pangan.

Pemborosan makanan yang signifikan telah terjadi di Tengah-tengah kita. Berdasarkan riset Bappenas, Indonesia kehilangan 23-48 juta ton makanan yang terbuang (food loss and waste) per tahun sejak 2000-2019. Jumlah ini setara dengan makanan yang dapat menghidupi 61-125 juta orang Indonesia.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan pemborosan makanan ini, antara lain:
(1) Banyak bahan pangan yang rusak selama proses produksi, transportasi, atau penyimpanan karena penanganan yang kurang baik. Misalnya, buah dan sayuran yang tidak disimpan dengan benar dapat membusuk sebelum mencapai konsumen.
(2) Kualitas ruang penyimpanan yang kurang optimal menyebabkan bahan pangan cepat rusak. Ini termasuk kurangnya fasilitas pendingin yang memadai di berbagai tahap rantai pasok pangan.
(3) Pasar sering kali memiliki standar kualitas yang tinggi, sehingga bahan pangan yang tidak memenuhi standar ini dibuang meskipun masih layak konsumsi. Selain itu.
(4) Preferensi konsumen terhadap makanan yang segar dan tampak sempurna juga berkontribusi pada pemborosan.
(5) Perilaku boros dalam konsumsi pangan, seperti membeli makanan dalam jumlah berlebih atau tidak menghabiskan makanan yang sudah disiapkan, menyumbang signifikan terhadap food waste. Survei menunjukkan bahwa 53% rumah tangga di Indonesia biasanya memiliki sisa makanan yang tidak terpakai.
(6) Pada tingkat produsen, kelebihan produksi yang tidak terserap pasar dan harga panen yang rendah menyebabkan banyak bahan pangan yang tidak terjual dan akhirnya terbuang.
(7) Kurangnya informasi dan edukasi mengenai penanganan dan penyimpanan pangan yang baik di kalangan pekerja pangan dan konsumen juga menjadi faktor utama pemborosan makanan.

Paradoks ini menunjukkan bahwa penanganan masalah gizi dan kemiskinan di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif, meliputi perbaikan distribusi pangan, pengurangan pemborosan makanan, peningkatan akses ekonomi, edukasi gizi, serta penanganan faktor sosial budaya yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.

Mengapa Bisa Terjadi?

Secara singkat kita dapat mengidentifikasi mengapa ini bisa terjadi, di antaranya adalah banyak tahapan dalam rantai pasok pangan yang tidak efisien, mulai dari produksi hingga konsumsi, yang menyebabkan banyak bahan pangan terbuang. Fasilitas penyimpanan dan transportasi yang tidak memadai menyebabkan kerusakan bahan pangan sebelum mencapai konsumen.

Kebiasaan membeli makanan dalam jumlah berlebih dan tidak menghabiskannya berkontribusi pada tingginya food waste. Standar kualitas yang ketat menyebabkan banyak bahan pangan yang sebenarnya masih layak konsumsi dibuang. Kurangnya pengetahuan tentang cara menyimpan dan mengelola makanan dengan baik di kalangan konsumen dan pekerja pangan.

Kurangi Pemborosan

Perlu adanya suatu Gerakan untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat tentang pentingnya mengurangi pemborosan makanan melalui kampanye dan program pendidikan. Meningkatkan fasilitas penyimpanan dan transportasi yang memadai untuk mengurangi kerusakan bahan pangan. Melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah, dalam upaya mengurangi pemborosan makanan. Mengadopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok pangan.

Food Bank sebagai Solusi

Mengembangkan food bank untuk mendistribusikan makanan berlebih kepada mereka yang membutuhkan, mengurangi pemborosan sekaligus membantu mengatasi kelaparan dan gizi buruk.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, Indonesia dapat mengurangi pemborosan makanan dan meningkatkan ketahanan pangan serta kesejahteraan masyarakat.

Food bank atau bank makanan telah muncul sebagai salah satu solusi potensial untuk mengatasi beberapa masalah sosial di Indonesia, terutama terkait kelaparan, kemiskinan, dan pemborosan makanan. Food bank bertujuan menghubungkan kelebihan makanan dari produsen, distributor, dan restoran kepada masyarakat yang membutuhkan, mengurangi pemborosan pangan sekaligus membantu kelompok rentan.

Food bank membantu mengatasi masalah ketahanan pangan, gizi buruk, dan stunting melalui program-program seperti distribusi makanan bergizi untuk anak-anak dan ibu hamil/menyusui. Selain distribusi makanan, food bank juga menjalankan program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan pangan jangka Panjang, melalui edukasi proses melibatkan Masyarakat secara berkesinambungan. (#)

*)Wakil Rektor Bidang Riset, Advokasi dan Promosi IKOPIN University, Anggota Perkumpulan Guru Besar Indonesia (Pergubi), Ketua Umum IMFEA dan Pelopor terbentuknya Asosiasi Dosen Ekonomi koperasi dan Microfinance Indonesia

Exit mobile version