Panduan CRMS Jadi Jembatan Sebelum Berlakunya Standar Internasional

Panduan CRMS Jadi Jembatan Sebelum Berlakunya Standar Internasional/Dok. Peluang News-Hawa

Peluang News, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi meluncurkan panduan Climate Risk Management & Scenario Analysis (CRMS), hari ini, Senin (4/3/2024).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan, peluncuran ini merupakan salah satu bentuk dari dukungan OJK terhadap pengelolaan risiko perubahan iklim bagi perbankan di tanah air.

Menurutnya, panduan ini merupakan alat untuk menilai ketahanan model bisnis dan strategi bank dalam menghadapi risiko perubahan iklim.

Selain itu, CRMS juga menjadi bagian dari rangkaian kebijakan OJK dalam mendukung keuangan berkelanjutan di Indonesia.

“Jadi, panduan CRMS ini diharapkan dapat menjadi bridging policy sebelum berlakunya standar internasional terkait management and supervision of climate-related financial risks,” ujar Dian dalam kegiatan Indonesia Banking Road to Net Zero Emission di kawasan Jakarta Selatan.

“Dalam penerapannya, panduan ini juga tidak dapat berdiri sendiri dan sangat erat kaitannya dalam mendukung implementasi kebijakan keuangan berkelanjutan OJK saat ini dan ke depan,” sambungnya.

Panduan CRMS Jadi Jembatan Sebelum Berlakunya Standar Internasional/Dok. Peluang News-Hawa

Ia menjelaskan, penerbitan panduan CRMS ini bertujuan untuk membantu bank dalam mengukur dampak iklim pada kinerja dan keberlanjutan bisnisnya melalui standardisasi kerangka manajemen risiko iklim, penetapan skenario dan kerangka metodologi yang seragam, serta didukung oleh sumber data dan referensi.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, penyusunan panduan CRMS ini dilatarbelakangi oleh tiga urgensi utama.

Yang pertama, dari sisi risiko, Indonesia merupakan negara yang dinilai cukup rentan terhadap isu perubahan iklim. Untuk risiko fisik, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan risiko fisik terbesar di dunia.

Sedangkan dari risiko transisi, Indonesia menduduki peringkat ke-7 negara di dunia yang menghasilkan emisi karbon tertinggi dengan share sebesar 2,3 persen.

Kemudian yang kedua yaitu komitmen global dalam pencapaian NZE di 2050 yang dicanangkan pada Paris Agreement dan diturunkan menjadi target NZE Indonesia di 2060 atau lebih cepat.

“Selain itu, kebijakan lainnya juga sudah mulai diterapkan, seperti pembatasan penggunaan energi fosil dan pajak karbon. Hal ini akan berdampak terhadap lanskap perekonomian dan dunia usaha khususnya pada sektor yang masuk dalam kategori carbon-intensive,” jelas Dian.

Lalu, yang ketiga yakni berkaitan dengan sektor perbankan, The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) telah menerbitkan Consultative Document “Principles for the Effective Management and Supervision of climate-related financial risks” yang mendorong sektor perbankan untuk mulai mengintegrasikan risiko iklim ke dalam kinerja keuangan termasuk pengungkapannya.

Menurut Dian, hal ini diperkuat dengan adanya inisiatif pengembangan model sebagai dasar pengukuran dampak risiko iklim oleh Central Banks and Supervisors Network for Greening Financial System atau NGFS yang merupakan Asosiasi Bank Sentral dan Otoritas Pengawas di dunia dalam menggerakkan respon terhadap isu iklim/pencapaian Paris Agreement.

“Untuk mendukung hal tersebut, maka International Sustainability Standard Board (ISSB) telah menerbitkan IFRS Sustainability Disclosure Standards S1 dan S2 yang merupakan standar pengungkapan risiko dan peluang iklim untuk sentitas publik, termasuk perbankan,” tuturnya.

Exit mobile version