hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Palu, Sebuah Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Timur

Palu tumbuh pesat dan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah kawasan timur Indonesia. Kota ini terkenal dengan julukan “Mutiara di Khatulistiwa”.

Tahun 2018, Kota Palu didera bencana bertubi-tubi. Mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga likuifaksi yang menghisap sejumlah rumah bahkan pohon kelapa ke dalam bumi. Upaya pemulihan pascabencana tersebut sungguh tak mudah. Terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan yang mengakibatkan pekerjaan besar recovery kota terhalang di sana sini.

Secara geografis, Kota Palu memang merupakan daerah rawan bencana. Khususnya triple bencana yang disebut di atas: gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi. Pasalnya, wilayah ini persis dilewati Patahan Palu Koro. Ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah ini luasnya 395,06 km². Dari luas tersebut, secara administrasi Kota Palu terbagi menjadi 8 kecamatan dan 46 kelurahan. Letaknya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, pada kawasan dataran lembah Palu dan Teluk Palu di Pulau Sulawesi.

Topografinya terdiri dari dataran rendah, dataran bergelombang dan dataran tinggi. Dari sisi ini, wilayah Kota Palu dapat dibagi menjadi 3 zona ketinggian yaitu: Sebagian kawasan bagian barat sisi timur memanjang dari arah utara ke selatan, bagian timur ke arah utara dan bagian utara sisi barat memanjang dari utara ke selatan merupakan dataran rendah/pantai dengan ketinggian antara 0–100 m di atas permukaan laut.

Palu yang lokasinya di tepi laut itu dijuluki Kota Lima Dimensi (karena alamnya berdiri atas wilayah pegunungan, lembah, teluk, lautan, dan sungai) dengan wilayah seluas 395,06 km². Jumlah penduduk 389.959 (2024). Populasi yang berusia produktif (15–64 tahun) mencapai 69%. Artinya kota ini memiliki bonus demografi. Motto Kota Palu: “Maliu Ntinuvu” (pengabdian yang tulus dilandasi semangat persatuan dan kesatuan yang kokoh. Fauna resmi: Maleo. Flora resmi: Banga

Beberapa pantai yang berada di Kota Palu adalah Pantai Talise, Pantai Pantoloan, dan Pantai Taipa. Kawasan bagian barat sisi barat dan selatan, kawasan bagian timur ke arah selatan dan bagian utara ke arah timur dengan ketinggian antara 100–500 m di atas permukaan laut. Kawasan pegunungan dengan ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut.

Dalam hal transportasi, Kota Palu memiliki fasilitas seperti bandara, pelabuhan, dan terminal bus. Bandara yang melayani Kota Palu adalah Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie, atau yang sebelumnya bernama Bandar Udara Masovu. Di Kota Palu terdapat Pelabuhan Pantoloan, Pelabuhan Donggala, dan Pelabuhan Wani. Terminal bus di kota ini adalah Terminal Induk Mamboro dan Terminal Bus Petobo.

ASAL-USUL nama ibu kota Provinsi Sulteng terambil dari fenomena alam di lokasi tersebut. Yakni dari kata Topalu’e yang berarti tanah yang terangkat karena daerah ini awalnya lautan. Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Menurut Dr. Kruyt, Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang Toraja (De Aste Toradja’s van Midden Celebes). Pembentukan kota Palu berasal dari penduduk Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah, mereka pun sampai dan bermukim di Boya Pogego sekarang ini.

Keterangan secara sosiologis menyatakan, Kota Palu bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu: Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan.

Ditilik secara historis, Kota Palu berawal dari berdirinya kerajaan yang terdiri dari kekompakan empat buah kampung, yaitu Besusu, Tanggabanggo (sekarang: Kelurahan Kamonji), Panggovia (sekarang; Kelurahan Lere), dan Boyantongo (sekarang: Kelurahan Baru). Keempat kampung tersebut membentuk satu Dewan Adat yang disebut Patanggota. Salah satu tugas Patanggota adalah memilih raja dan para pembantu yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan.

Dalam gelinding waktu, Kerajaan Palu lama kelamaan tumbuh menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868. Kedatangan Belanda pertama kali terjadi pada masa kepemimpinan Raja Maili untuk mendapatkan perlindungan dari Manado.

Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu dan melakukan penyerangan ke Kayumalue. Dari peristiwa Perang Kayumalue ini, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Raja Maili digantikan oleh Raja Jodjokodi, yang pada tanggal 1 Mei 1888 menandatangani perjanjian pendek dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Pada awal mulanya, Kota Palu merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Namun, pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Palu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan (Onder Afdeling Palu) yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Landschap Palu yang mencakup distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat, kemudian Landschap Kulawi dan Landschap Sigi Dolo.

Pada masa Perang Dunia II ini, Kota Donggala yang kala itu merupakan ibu kota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu dan Jepang. Akibatnya, pusat pemerintahan kembali dipindahkan ke Kota Palu pada tahun 1950. Kota Palu mulai berkembang setelah dibentuknya Residen Koordinator Sulteng tahun 1957. Dengan terbentuknya Provinsi Sulteng pada 1964, status Kota Palu ditingkatkan menjadi Ibu kota Provinsi Dati I Sulawesi Tengah. Pada tahun 1978, Kota Palu ditetapkan sebagai kota administratif. Tahun 1994 statusnya menjadi Kotamadya Palu.

Bermula hanya sebagai sebuah kota kecil yang menjadi pusat Kerajaan Palu. Kini, Palu tumbuh pesat dan maju serta menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah kawasan timur Indonesia. Kota ini terkenal dengan julukan “Mutiara di Khatulistiwa”. Julukan itu dianugerahkan Bung Karno saat menginjakkan kaki di Lembah Palu pada 10 Oktober 1957.

Penobatan julukan tersebut dikukuhkan lewat penandatanganan prasasti oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya, bersama Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, pada tahun 2016 lalu. Prasasti itu dipahat di atas batu dengan berat sekira 2 ton, panjang 1,5 meter dan tinggi 1,30 cm. Prasasti ini diletakkan di tengah Anjungan Nusantara, Pantai Talise Palu, di kota yang terletak tepat pada garis khatulistiwa.●(Zian)

pasang iklan di sini