HARUS diakui pembangunan yang sedang berjalan di Indonesia menghadapi berbagai problematika, termasuk kemerosotan kualitas lingkungan. Sebab seperti negara lain, pembangunan di Indonesia hanya menitikberatkan pada sektor ekonomi. Lebih khusus lagi difokuskan ke aspek pertumbuhan dan minim yang menyentuh aspek pemerataan, apalagi keberlanjutan.
“Konsekuensinya pembangunan fisik menjadi andalan dengan dalih sebagai trigger perekonomian. Dampaknya sektor sosial masih menjadi objek belum sepenuhnya menjadi subjek pembangunan. Di lain pihak sektor lingkungan masih terpinggirkan dan bahkan menjadi korban pembangunan itu sendiri,” ucap Prof. Dr.-Ing. Ir. Widodo Brontowiyono, M.Sc., dikutip dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (UII), Jumat (19/5/2023).
Kenyataan tersebut, ungkap dia, menunjukkan implikasi pembangunan adalah potensi degradasi lingkungan. Padahal, konsep pembangunan berkelanjutan hadir dengan harapan mampu menjembatani kebutuhan ekologi, ekonomi dan sosial tersebut.
Prof Widodo mengingatkan, dampak covid-19 masih terus dirasakan sampai saat ini. Sementara bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia sepanjang 2021 saja tercatat antara lain banjir dengan 1.298 kejadian, disusul cuaca ekstrem 804, tanah longsor 632, kebakaran hutan dan lahan 265, serta gelombang pasang dan abrasi 45 kejadian.
Dalam catatan United Nation Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) pada tahun 2020 menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling rentan ke-3 di dunia terhadap perubahan iklim (climate risk), terutama yang diakibatkan oleh bencana banjir dan panas ekstrim. Indonesia juga menempati posisi 5 besar dunia mengenai kerentanan terhadap kenaikan muka air laut.
Dalam catatan World Wild Fund for Nature (WWF), jelas Prof Widodo, dinyatakan bahwa 25,1% air tanah seluruh desa di berbagai wilayah di Indonesia telah tercemar dan sebanyak 2,7% diantaranya tercemar kategori sangat berat.
Statistik Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2020 menunjukkan bahwa 57,42% rumah tangga di Indonesia membuang limbah cair (mandi, cuci, dan dapur) ke got/selokan/sungai.
“Secara fisik penyediaan fasilitas pengolahan dan jaringan air minum sudah mencapai 90% namun dari segi kualitas air minum baru mencapai 57.80%. Hal tersebut disebabkan oleh masih tingginya kontaminasi bakteri pathogen (E-coli) sampai dengan 81.90% seperti yang dirilis Kementerian Kesehatan tahun 2021,” bebernya.
Kondisi-kondisi itu, menurut Prof Widodo, masih diperberat dengan polusi dan degradasi tanah, persampahan yang tak kunjung teratasi, degradasi hutan dan deforestasi, serta kerusakan sumber daya laut.
Dari sisi manusianya, ungkap dia, Indonesia menghadapi angka kemiskinan yang masih tinggi, ancaman ledakan jumlah penduduk, rendahnya kualitas hidup dan lain sebagainya.
Agama dan Budaya
Ajaran Islam dimana banyak penganutnya di Indonesia, lanjutnya, menawarkan konsep-konsep untuk mengatasi berbagai kondisi seperti tersebut. Prof. Widodo menjelaskan, cukup banyak ayat-ayat Alquran yang dapat menjadi acuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga martabat serta kesejahteraan manusia.
Menurut dia, perhatian Islam terhadap lingkungan dapat dijumpai dalam perspektif etika atau akhlak. Etika terhadap lingkungan termasuk dalam salah satu kaidah akhlak.
“Etika ditujukan terhadap segala ciptaan-Nya dan lingkungan adalah bagian dari ciptaan itu. Semua tindakan etis tercakup dalam doktrin implementasi kebaikan. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah telah mewajibkan manusia berbuat baik terhadap segala sesuatu. Tentunya termasuk terhadap lingkungan fisik maupun biotik. Berbuat baik terhadap lingkungan,” paparnya.
Bagi manusia Indonesia, imbuhnya, selain menyandarkan kepada ajaran Islam, konsep menjaga kelestarian lingkungan itu juga muncul di berbagai ajaran lokal.
Dalam budaya Jawa Sri Sultan Hamengku Buwono I telah meletakkan dasar falsafah Hamemayu Hayuning Bawono bagi kehidupan masyarakat. “Maknanya adalah komitmen untuk membuat bumi indah dan lestari. Visi keharmonisan hidup dengan lingkungan selanjutnya terjabarkan dalam misi Hamengku Buwono, yang berarti memelihara bumi,” katanya.
Sementara budaya Batak mengajarkan bahwa bumi sama dengan tanah, yang dalam bahasa Batak disebut tano memiliki satu kesatuan yang utuh. Kearifan lokal dari tano Batak, lanjutnya, pada dasarnya harus menjamin kelangsungan hidup suku Batak itu dari zaman ke zaman yakni dari zaman dahulu sampai kini dan pada zaman mendatang. Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani.
Budaya Bali, lanjutnya, mengajarkan konsep Tri Hita Karana. Kebahagiaan manusia akan tercapai jika terjadi tiga hubungan yang harmonis. Ketiga elemen yang mesti berhubungan tersebut terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Parahyangan, lanjutnya, merupakan unit tempat suci (Pura) yang mencerminkan tentang Ketuhanan. Pawongan berupa unit dalam org,anisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. Palemahan berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.
“Budaya masyarakat Pulau Timor mengenal konsep segitiga kehidupan Mansian-Muit-Nasi, Na Bua yang berarti manusia, ternak, dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan,” ungkapnya. (Ajie)