PIYE KABARE? Isih penak zamanku toh.” Sapaan itu muncul di berbagai tempat. Menempel di dinding kota, tembok sekolah, pasar, angkutan umum dan tentu saja viral di media sosial. Sang penyapa, sosok lelaki tua dengan senyumnya yang khas itu melambaikan tangan, Pak Harto. Tiba-tiba saja banyak orang kangen dengan mantan penguasa Orde Baru bertangan besi itu.
Bisa dimaklumi, kendati Soeharto begitu kejam terhadap lawan politiknya, di belahan lain jutaan rakyat jelata menikmati hasil pembangunan yang dimodali dengan tumpukan utang luar negeri.
Tapi siapa peduli, di rentang tiga dasa warsa kekuasaan Soeharto rakyat negeri ini dibuai oleh pertumbuhan mengagumkan. Ekonomi rakyat berjaya melalui koperasi yang mewarnai pelosok pedesaan, harga beras dan pupuk untuk petani stabil, pasokan BBM lancar, dan keamanan terkendali. Dan di pengujung 1998 Indonesia tengah bergegas menuju status kawasan negara berjuluk “Macan Baru Asia” julukan yang meninabobokan itu diberikan Bank Dunia dan IMF.
Semua keajaiban itu mendadak hilang, ketika nilai tukar rupiah terhadap valuta asing (dolar AS) tergerus di bursa valas internasional. Seperti kata Mahattir Mohammad, Asia Tenggara termasuk Indonesia mendadak bangkrut hanya dalam semalam, lantaran ulah spekulan mata uang asing. Di hari-hari terakhir kejatuhan Soeharto, krisis ekonomi berlangsung akut, ribuan perusahaan gulung tikar dan jutaan tenaga kerja menjadi pengangguran. Indonesia mengalami kontraksi hebat dengan menyisakan utang luar negeri US$135 miliar. Beban krisis itu agaknya sulit dilupakan seperti halnya Black Tuesday yang menandai masa depresi besar pada 29 Oktober 1929 di Amerika Serikat.
Setelah dua dasawarsa berlalu, pemimpin negeri datang silih berganti dan dipilih dengan cara demokratis, namun bayangan kemakmuran akibat berkah reformasi itu belum juga tampak. Pembangunan memang terus berlangsung sejalan dengan utang luar negeri yang juga terus melonjak hingga Rp7.754,98 triliun per Januari 2023 lalu setara 38,56% Produk Domestik Bruto.
Korupsi tetap menjadi gaya hidup pejabat negeri, bahkan seorang anggota DPR tak sungkan menyebut korupsi sebagai oli pembangunan. Seorang lagi mantan ketua partai yang menjadi pesakitan berkoar melalui medsos tiktok bahwa 99% elected official di Indonesia adalah korup. Jika kemudian ada yang tertangkap seperti dirinya, itu hanyalah soal nasib.
Bagaimana dengan Soeharto yang berkuasa amat panjang itu, apakah ia dan keluarganya tidak tersentuh korupsi?
“Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri” Kalimat itu diucapkan Soeharto melalui layar televisi milik putri sulungnya di awal September 1998; empat bulan sejak ia mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Tentu saja anekdot atau ia memang seorang nasionalis tulen yang anti menyimpan harta di luar negeri.
Hingga hari kematiannya, pada 27 Januari 2008, Soeharto tetap merupakan sosok the untouchables. Tudingan korupsi pun tak beralasan dan tak kunjung terbukti.
Tetapi seperti tebaran bau kentut, kita memang mencium aroma bau busuk yang menyengat. Kemampuan untuk bisa merasakan ketidak beresan itu yang oleh Malcom Gladwell disebut Blink, sekaligus menjadi judul bukunya: The Power of Thinking Without Thinking. Gladwell merujuk pada kemampuan bawah sadar kita menelaah situasi dan prilaku berdasarkan cuplikan pengalaman yang sangat singkat. Intinya, ia ingin mengatakan bahwa orang bisa menggunakan kemampuan berpikirnya tanpa harus berpikir. Maka, kita bisa merasakan aroma korupsi yang kental tanpa harus menggunakan kening yang berkerut, cukuplah melalui penampilan dan perilaku seseorang.
Celakanya, belakangan ini kita merasakan aroma tersebut di berbagai tempat. Di kantor kelurahan, kepolisian, kementerian negara, sekolahan bahkan ke rumah-rumah ibadah. Indikatornya, kata Syed Hussein Al Atas, dapat dilihat pada figur kepemimpinan, ajaran agama dan praktik hukum.
Pemimpin yang lemah dan tidak tegas mengambil sikap dan ajaran agama yang jadi ritualitas bakal menciptakan lahan subur bagi praktik korupsi. Demikian halnya dengan implementasi hukum. Jika kita senang menciptakan perundang-undangan, tetapi lebih senang melanggarnya, maka kata Kahlil Gibran, kita bagaikan kanak-kanak yang asyik membangun menara pasir di tepi pantai. Kemudian setelah itu, meruntuhkannya sendiri sambil gelak tawa.
Jika kita senang menciptakan perundang-undangan, tetapi lebih senang melanggarnya, kita bagaikan kanak-kanak yang asyik membangun menara pasir di tepi pantai. Kemudian setelah itu, meruntuhkannya sendiri sambil gelak tawa. –Kahlil Gibran—