PEMERINTAH perlu berhati-hati menerapkan pajak bisnis digital (e-commerce). Risiko pertama yang perlu diperhatikan ialah perusahaan perintis (start-up). Perlakuan khusus perlu diberikan untuk star-tup agar tidak mati sebelum berkembang akibat pajak. Pemerintah juga harus menyadari e-commerce tidak hanya memiliki model bisnis unik, tapi juga ekosistem yang berbeda dengan sektor usaha konvensional.
Apa yang dipajaki, berapa bebannya, dan siapa yang memungut?“Perlu ada administrasi yang baik sebelum ke sana, supaya orang bisa dengan mudah dan murah mengurus administrasinya,” kata Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Karenanya, pengenaan pajak harus menyesuaikan kondisi riil di lapangan. “Jangan sampai yang asing tidak bayar (pajak) dan yang di dalam negeri beralih ke model lain seperti media sosial,” kata Yustinus.
Angkanya semestinya di kisaran 2-4 persen. Soalnya, sampai saat ini, Ditjen Pajak belum mengumumkan skema pasti soal pajak e-commerce. Belum diputuskan juga bagaimana cara memungutnya. Apakah pemilik platform, penjual, atau kurirnya? “Tantangannya justru di situ,” ujar Yustinus.
Saran dia, pajak dibebankan kepada konsumen saja. Sebab, jika dikenakan kepada kurir, tidak tepat karena tugasnya hanya pada jasa pengiriman. Pemilik platform?Belum tentu bisa karena mereka tidak tahu siapa yang berjualan.
Pajak e-commerce bakal lebih mudah diimplementasikan jika pemerintah memiliki Gerbang Sistem Pembayaran Nasional (National Payment Gateway/NPG). “Misalnya, pada kartu kredit atau debit sudah termasuk pajak. Itu lebih simple dan terjamin nggak bocor, dan meringankan beban platform dan pelanggan,” kata dia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Ken Dwijugiasteadi, sedang mengkaji pembuatan aturan pajak e-Commerce. Pemerintah sejauh ini mengaku tidak sedang mencari objek baru.●