Digagas 2010 lalu, Yayasan Raja Nusantara menggelar Festival Keraton Nusantara XI, 16-19 September 2017, di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dihadiri 40-an raja, sultan, datu (para pewaris tahta pra-Indonesia), pemangku adat dan presiden.
PERNAH dengar nama Kedatuan Siau? Atau Kerajaan Katholik, yang mayoritas Protestan tapi sempat dipimpin oleh raja Muslim? Nama Sang Saka berasal dari bendera kerajaan ini (Seka Saka), Soekarno mengunjunginya pada 1943 dan 1953, untuk memperkuat kapitalisasi moral bagi sebuah negara baru di Asia Tenggara yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Sedikitnya, hingga kini, ada 48 kerajaan pra-Indonesia. Namun, banyak orang mengenal Indonesia seakan baru ada sejak tahun 1945. Pemahaman dangkal seperti ini ini tidak salah. Tapi coba, mungkinkah bayi bernama Indonesia itu lahir tanpa melalui embrio yang bernama Nusantara? Indonesia dibangun antara lain dari penyerahan tanah ulayat oleh raja-raja di Nusantara kepada Pemerintah RI. Properti tersebut berupa tanah wilayah kerajaan, perairan (ibu pertiwi), dan langit (wilayah udara) sebagai bapak angkasa.
Peran kerajaan-kerajaan Nusantara dalam pembelajaran sejarah tidak ditulis sebagaimana mestinya. Kerajaan-kerajaan dan kesultanan masa lampau hanya dikenang sebagai cerita, minim nasionalisme. Niat tulus para raja dan sultan untuk melebur ke dalam Indonesia dan rela kehilangan kekuasaannya demi republik ini dikaburkan, disepelekan, bahkan dinisbikan.
Batang terendam itu dibangkitkan selaksa silam. Berangkat dari Piagam Tekad Suci yang dibacakan Sultan Mudaffar Sjah (Ternate) dan diikuti oleh raja dan sultan Nusantara pada 27 November 2010 di Palembang. Dua butir tekad berisi: 1. Membangun masyarakat yang berbudaya dan bersatu, mulia dan bermartabat; 2. Meraih kejayaan Nusantara melalui persaudaraan raja, sultan, dan lembaga adat keraton Nusantara.
Berawal dengan Yayasan Persaudaraan Raja Sultan dan Lembaga Adat Keraton Nusantara, 11 Januari 2011. Nama itu diubah menjadi Yayasan Raja Sultan Nusantara (Yarasutra), 16 Juni 2011. Selanjutnya rekomposisi Struktur Kepengurusan Yarasutra, 20 Juli 2011. Semuanya berlangsung di Jakarta. Inilah
wadah mempererat silaturahmi raja, sultan, dan kerajaan/kesultanan/kedatuan di Nusantara.
Yayasan ini bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Organisasi ini bisa menjadi tempat untuk bermusyawarah. Tidak ada jabatan ketua di dalamnya. Hanya ada sekretaris eksekutif untuk menyelesaikan aspek administratif. “Saya berharap pemerintah mau mengakui. Klasifikasinya jelas, kita tidak mau politik. Raja-raja masuk organisasi ini dengan kewajibannya hanya meneruskan proses budaya yang suda dibangun oleh leluhurnya,” ujar Raja Ngayogyakarta/ Gubernur DIY Sri Sultan HB X.
Malangnya, saat ini ada lima organisasi yang mengatasnamakan raja-raja di Nusantara. Ada yang anggotanya bukan raja. Ada pula pimpinan organisasi memecat anggotanya yang mengatasnamakan raja. “Ketuanya bisa mecat sultan yang lain, emangnya king of king?” ujar Sultan HB X yang menghendaki hanya satu organisasi raja-sultan di Nusantara.
SEUSAI helat Festival Keraton Nusantara (FKN) di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, 9-13 Oktober 2016, Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN) selanjutnya dilaksanakan sekali setahun. Acara reguler: kirab prajurit, peragaan busana keraton Nusantara, pameran benda pusaka, malam seni, seminar kebudayaan, dialog kebangsaan keraton Nusantara.
Dalam kesempatan itu, 48 raja dan sultan menggaungkan Deklarasi Pangkalanbun. Beberapa tuntutan diajukan. Selain menyatakan tekad meneruskan perjuangan para leluhur yang telah ikut mendirikan NKRI, FKIKN juga menuntut “Peran baru dalam proses-proses pembangunan bangsa dan negara sehingga tidak sekadar menjadi penonton. Menuntut komitmen antara pemerintah saat mendirikan NKRI. Menolak intervensi pemerintah terhadap masalah-masalah adat.”
Pergelaran tahunan FKN relatif membangkitkan semangat baru bagi kerajaan dan kesultanan yang puluhan tahun telah redup atau sengaja diredupkan. Untuk itu, amat penting menyamakan persepsi tentang niat terbentuknya Yarasutra. Setidaknya, agar untuk menggelar suatu hajatan, Yarasutra tak harus membuat proposal seperti mengemis bantuan dana terhadap investor bahkan pemerintah.
Kerajaan dan kesultanan serta pemangku adat Nusantara terhadap dekadensi moral di negara ini, menjadikan mereka ingin kembali menengok bagaimana rukun, sopan, hormat, toleransi, gotong royong, taat, saling menghargainya masyarakat dalam kerajaan dan kesultanan dahulu.
Penyelenggaraan FKN XI di Keraton Cirebon, 16-19 Sept 2017, merupakan media pelestarian budaya dan promosi kepariwisataan Indonesia. Sebagai simbol kultural, kata peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, keraton bersikap yang akomodatif terhadap perbedaan, dan jangkar bagi toleransi di daerahnya. Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Pangeran Adipati Arief Natadiningrat yang menjadi tuan rumah.
Sejatinya, FKN dieujudkan untuk menjalin silaturahmi antarkeraton se-Nusantara; selain untuk menjaga kesatuan bangsa; melestarikan adat, tradisi dan budaya yang hidup di keraton-keraton. “Di Indonesia, lebih dari 40 keraton/kerajaan rutin menjalankan tradisi dan menjaga warisan budayanya,” tutur Mas Panji Satria Wangsa dari Kedatuan Pejanggi Lombok.
Lalu, bagaimana korelasinya dengan pemerintah eksisting? “Pendekatan untuk keraton ke depan bisa bantuan agar mandiri dan diberi dasar kebijakan yang kuat, ini terkait dengan investasi. “Kita membantu keraton untuk menduduki posisi sosial dalam masyarakat, dengan menggelar tradisi keraton. Selain penjaga tradisi budaya sebagai cagar budaya, ritual keraton sebagai konten wisata memiliki nilai ekonomi,” ujar Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid.●(dd)