Setelah riuh dijejali debat kusir antara close loop dan open loop, akhirnya perjalanan perkoperasian di tanah air di pengujung 2022 bermuara di Gedung DPR Senayan. Dalam sidang paripurna pertengahan Desember 2022 lalu, Lembaga legislatif ini mengesahkan RUU P2SK menjadi UU. Omnibus law sektor keuangan yang cukup gemuk, terdiri atas 27 bab dan 341 pasal, yang akan menjadi payung hukum dan mengakomodir 17 UU terkait sektor jasa keuangan yang ada selama ini, termasuk menggiring entitas koperasi (simpan pinjam), KSP
ke tengah persaingan pasar terbuka. Ini sebuah situasi di mana indikator competition (persaingan) lebih dominan ketimbang co-operation (kerja sama) apalagi mutual interest (kepentingan bersama).
Maka, jika kelak UU P2SK diberlakukan, KSP bakal punya dua kiblat pelayanan, yang hanya untuk anggota saja (close loop) dan KSP lainnya berbadan hukum LKM yang boleh melayani masyarakat dengan konsekuensi diawasi Otoritas Jasa Keuangan. Kita tahu, resistensi masyarakat koperasi agar bisnis koperasi itu hanya close loop saja begitu kuat, baik melalui berbagai forum dialog dengan lembaga terkait, audiensi dengan pemerintah dan DPR RI, bahkan aksi demo masyarakat koperasi di depan Gedung Kementerian Koperasi.
Catatan saya, sepanjang 2022, di bulan-bulan pertama perkembangan koperasi berjalan biasa-biasa saja alias business as usual. Keberhasilan masih mengacu pada tataran kuantitatif dan kegagalan dihitung pada berapa banyak koperasi gagal menggelar Rapat Anggota Tahunan. Namun belum ada upaya dari pemerintah bagaimana menjadikan koperasi sebagai ‘rumah bisnis’ bagi anggota. Artinya, anggota tak sekadar objek penyaluran simpanan dan pinjaman, tetapi juga mampu mengatrol posisi tawar yang kuat sebagaimana acapkali ditegaskan dalam prinsip dual identity.
Ketidaksiapan konsep berbagai pihak termasuk pemerintah dalam mempertegas posisi tawar anggota koperasi, kemudian terbukti ketika perkoperasian di tanah air digoyang isu KSP ‘gagal bayar’. Ini bukan berita baru lantaran sudah cukup banyak KSP sebelumnya punya kasus yang sama. Lagi pula publik koperasi mafhum, selain urusan tersebut masuk ke ranah hukum, juga terkuak bahwa bisnis 8 KSP bermasalah itu melenceng dari prinsip-prinsip perkoperasian universal. Kita tahu sebelumnya begitu mudah pemerintah mengeluarkan badan hukum koperasi tanpa menyigi siapa saja anggota dan di mana saja wilayah operasinya. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh para pemburu rente, para pelepas uang dan para pemilik modal lainnya mendirikan usaha berbasis KSP. Terungkapnya kasus KSP online menguatkan bukti betapa tidak pedulinya pemegang kebijakan terhadap entitas koperasi sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negeri ini. Ketidakpahaman terhadap prinsip dan jati diri perkopeasian juga diperkeruh dengan munculnya statemen sepihak yang menyudutkan KSP sebagai shadow banking.
Maka, perkoperasian di sepanjang tahun 2022 sebenarnya berada di tengah iklim yang amat tidak nyaman. Sinisme masyarakat diperparah dengan lemahnya afirmasi yang berujung pada sikap amat naif. Kementerian Koperasi dan UKM melalui Teten Masduki mengakui gagal membina KSP. Lantaran ketidaksiapan membina itulah, maka Teten Masduki dengan ikhlas menyerahkan pengawasan koperasi kepada institusi lain alih-alih Kementerian Koperasi dan UKM. Lalu apa lagi yang bisa diharapkan dengan sikap ‘cuci tangan’ ini ?
Tiba-tiba saya berangan-angan di tahun 2023 ini pemerintah melalui Kementerian Koperasi UKM mem-bail-out koperasi yang ditengarai gagal bayar, lalu dibenahi dengan penambahan modal dan tata kelola yang baik, seperti halnya pernah dilakukan pada program Badan Penyehatan Perbankan Nasional di tahun 1998. Masalahnya, bagi pemegang otoritas keuangan berapa besar arti dan peran koperasi itu sendiri terhadap perekonomian masyarakat? Ketika Teten Masduki mengatakan bahwa pemerintah akan menaikkan hampir 20 persen pagu Kredit Usaha Rakyat tahun 2023 menjadi Rp460 triliun dengan bunga 6 persen per tahun, maka kita tahu di mana posisi koperasi ?