Otoritarianisme itu kata bagus untuk definisi kepatuhan buta terhadap otoritas. Antitesis dari kebebasan berpikir dan bertindak individu. Otoritarianisme tak lain dari bentuk pemerintahan yang ditandai akumulasi kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, abai terhadap derajat kebebasan individu.
Beberapa cirinya: struktur kekuasaan yang terkonsentrasi dan terpusat. Otoritarianisme mengikuti prinsip, antara lain, aturan manusia, bukan supremasi hukum, pemilihan yang dimanipulasi, pelaksanaan kekuasaan politik yang informal dan tidak diatur; Tak ada jaminan kebebasan sipil atau toleransi untuk oposisi; Lemahnya masyarakat sipil; dan Keterbatasan stabilitas politik dengan watak birokrasi yang dikelola rezim dan penciptaan kesetiaan melalui berbagai cara sosialisasi.
Pada usianya yang belum 80 tahun, Negeri Zamrud Khatulistiwa telah mengenyam 3 periode otoritarisnisme. Pertama di era dikatatorial Soekarno, 1945-1965; dengan mile stone: sistem demokrasi terpimpin, presiden seumur hidup, ingkar janji ke masyarakat Aceh, dan hiperinflasi di atas 600%. Kedua di masa penyeragaman rezim Orde Baru/Soeharto. Ketiga di tahun ke-14 pascagebyar reformasi, hingga kini.
Dari aspek stabilitas, Indonesia di bawah Orde Baru (1966-1998) dapat dikatakan stabil karena gejolak politik, ekonomi, dan sosial; atau setidaknya jarang terjadi. Artinya, stabilitas Indonesia berlangsung dalam Sistem Otoritarianisme Terbuka.
Medio hingga akhir tahun 1990-an, kemakmuran ekonomi mulai digerus krisis, stagnasi. Letupan berawal dari depresiasi, amblasnya nilai kurs rupiah, khususnya terhadap dolar Amerika, seterusnya merembet ke mana-mana. Krisis keuangan itu tidak bisa direm, seperti meluncur bebas, lantas meluas ke berbagai sektor ekonomi lain, ke sektor-sektor industri, jasa, dan pertanian di perdesaan. Klimaksnya, bidang politik. Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan tertinggi rezim Orde Baru “dijatuhkan” oleh kelompok masyarakat sipil pro demokrasi yang dimotori mahasiswa.
Jilid tiga terjadi di era Mulyono. Ini diistilahkan zaman otoritarianisme elektoral. Di banyak negara, otoritarisnisme menguat berbungkus demokrasi. Meredupnya demokrasi liberal di negara-negara Barat, kegagalan kapitalisme menghasilkan keadilan sosial membuat populisme tumbuh. Akibatnya, demokrasi hanya jadi alat bagi tokoh populis (untuk) memanipulasi suara mayoritas untuk berlaku otoriter.
Electoral authoritarian adalah rezim kemaruk yang menyelenggarakan Pemilu; tapi Pemilu hanya alat untuk terus berkuasa. Pemilu dimanipulasi sedemikian rupa agar penguasa terus punya pengaruh. Demokrasi pun jadi kedok untuk nutupi perilaku menindas menggunakan kekuasaan. Pemerintah diam-diam merampas sikap kritis masyarakat sipil dengan pelbagai teror dan intimidasi.
Penguasa menolak disebut membangun politik dinasti—meski secara telanjang memplot dua anak, menantu, adik ipar, sepupu, dan dua keponakan di karpet merah jalur tol kekuasaan. Mereka tak mau disebut melanggar konstitusi karena pelanggaran dilakukan setelah konstitusi diubah. Dalam populisme dan otoritarianisme elektoral, dalih-dalih yang tak bertentangan dengan prinsip demokrasi itu didukung orang banyak.●
Salam,
Irsyad Muchtar