JAKARTA—-Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, tumbuhnya perusahaan financial technology (fintech) ilegal di Indonesia tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang masih minim. Kondisi ini membuat masyarakat unbanked (belum terakses dengan bank) dan underserve (membutuhkan uang dalam waktu cepat) membutuhkan fintech ilegal.
“Potensi fintech di Indonesia masih sangat besar. Ditaksir sekitar tiga juta penduduk menggunakan layanan fintech dengan jumlah transaksi mencapai sembilan juta kali. Di balik ini, ada orang-orang berkarakter buruk yang memanfaatkan teknologi,” tutur Hendrikus dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Untuk itu katanya, seluruh pemangku kepentingan dapat turut andil dalam mengatasi isu ini. OJK sendiri sudah mengirimkan surat ke perbankan nasional untuk mencegah perusahaan yang mengajukan pembuatan rekening dengan jenis usaha
“Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim terus melakukan upaya untuk memberantas perusahaan fintech ilegal. Sampai saat ini, setidaknya 404 entitas telah mendapatkan tindakan tegas dari OJK melalui Satuan Petugas Waspada Investasi (SWI),” katanya menegaskan.
Dalam kesempatan yang sama Ketua SWI Tongam Lumban Tobing mengatakan, pihaknya terus melakukan pemantauan di situs dan aplikasi yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Apabila tidak terdaftar sesuai landasan hukum, mereka (perusahaan) disebut ilegal,” kata dia.
Landasan hukum yang dimaksud adalah Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan itu, disampaikan bahwa setiap penyelenggaraan P2P lending harus mendaftar dan terdaftar di OJK.