hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Nyok, Kite Main Ondel-ondel Nyoook…

Kalau bicara aturan, pendekatan hukumnya memang itu dilarang. Tapi kalau dilarang betul, tanpa solusi, itu tidak bijaksana juga. Pemerintah mestinya tidak melarang, tapi membatasi penggunaan ondel-ondel untuk ngamen.

PENGAMEN jalanan kian marak. Saat pandemi Covid-19 memasuki bulan ke-19 atau 20, mereka merambah masuk gang-gang kecil. Bahkan di atas pukul 21:00 pun mereka masih ‘bekerja’. Entah itu pengamen solo ataupun tim. Tim kecil biasanya 2-3 orang. Tim besar bisa mencakup belasan personel. Baik yang hanya menggunakan pakaian badut ala kadar maupun yang serius bermusik. Di sini Odong-odong ambil bagian. Boleh jadi terkait dengan jatidiri mereka sebagai sahibul bait di DKI Jakarta.

Penghasilan mereka memang besar. Bisa Rp3 juta dalam sehari. Tapi harus dibagi-bagi ke pengarak Ondel-ondel. “Itu cerita dulu, tahun 2009 sampai 2012. Kalau mengguan full alat musik, jumlah mereka bisa 12-15 orang,” ujar Yudi Hermawan. Dia menilai, saat ini banyak oknum di luar seniman atau budayawan Betawi yang membuat Ondel-ondel. Biasanya, disewakan Rp150 ribu  untuk sepasang Ondel-ondel sehari penuh.
            Sistem kerja Ondel-ondel jalanan menggunakan model drop. Pengamen Ondel-ondel yang berasal dari Kemayoran, misalnya, bisa beroperasi hingga ke Kota Bogor. Tak jarang melibatkan anak kecil dan perempuan. “Mereka didrop di Pasar Rebo, nanti baliknya jalan kaki. Mereka dari Pasar Senen atau mereka ke mana ke Kemayoran jalan kaki. Sampai di daerah tertentu, mereka minta dijemput angkot kenalan mereka.

Banyak Ondel-ondel jalanan yang tak terdaftar dan tak berizin. Yudi Hermawan, pimpinan Sanggar Ondel-ondel Sinar Betawi Entertainment, meyakini tindakan mereka sebagai bentuk protes terhadap dinas terkait. Sebab, susah banget mengurus izin berkesenian. Mereka protes-lah karena nggak difasilitasi. Maka mereka nggak mau mendaftar perizinannya dan ngamen dengan cara turun ke jalan,” ujar pria yang menggeluti Ondel-ondel sejak 2004.

Kontroversi Ondel-ondel jalanan ini sudah berlangsung 2-3 dasawarsa terakhir. Suara/saran/tawaran solusi dari kalangan seniman/budayawan Betawi hampir tak terdengar. Isyu ini menyeruak lagi ketika Pemprov DKI akan melarang penggunaan ondel-ondel untuk mengamen di jalanan Ibu Kota. Fenomena ondel-ondel jalanan dinilai mengganggu. Meskipun dilarang, Pemprov DKI berjanji akan mengakomodir para pemain ondel-ondel ke tempat yang lebih baik.

“Nanti akan diatur oleh Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata; diberi tempat yang lebih baik bagi masyarakat yang ingin terus melestarikan, meningkatkan budaya Betawi, khususnya Ondel-ondel, dan juga memberi kesempatan bagi saudara kita untuk dapat melaksanakan kegiatan ekonomi dengan Ondel-ondel,” ujar Wagub DKI, Ahmad Riza Patria.

Seniman Ondel-ondel mau dirangkul, hanya saja belum ketemu titik simpulnya. “Makanya kemarin Pak Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Heri Wardana sempet dateng ke seniman Ondel-ondel, merangkul 100-an sanggar. Lalu, maunya gimana? Kok masih pembahasan terus? Harusnya kami dirangkul total, difasilitasi. Mungkin kayak dulu kalau di Monas; di Kota Tua buka lagi aja, tapi musiknya dilengkapin. Pakai seragam lagi. Jadi, sesuai pakem,” ujar Yudi.

Berdasarkan hasil pantauan Yudi, saat ini banyak oknum yang berkostum Ondel-ondel urakan, kumal dan ngasal. Mulai dari baju Ondel-ondel yang bolong sampai kedok (topeng) Ondel-ondel yang asal jadi, di antara para pengaraknya terdapat anak-anak, perempuan. Mereka bahkan cuma menggunakan sendal jepit.

Satpol PP DKI ‘menertibkan’ pengarak Ondel-ondel jalanan berdasarkan keluhan masyarakat yang merasa terganggu. Mereka bukan ngamen, melainkan lebih kepada mengemis. Mereka gunakan ikon Ondel-ondel, keliling-keliling, sound system didorong, 2 orang lainnya minta sedekah pakai nyodorin kaleng. Tidak ada bentuk pertunjukan seni yang dinikmati oleh masyarakat.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai rencana Pemprov DKI Jakarta melarang penggunaan Ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen atau mengemis kurang tepat.”Kalau bicara aturannya, pendekatan hukumnya memang itu dilarang. Tapi kalau dilarang betul, tanpa solusi, itu tidak bijaksana juga,” ucap Trubus,   Trubus yakin, pengamen Ondel-ondel sedikit banyak mempunyai andil dalam mempromosikan dan melestarikan kebudayaan Betawi. “Karena enggak ada penghasilan, makanya (mereka) jadi pengamen. Kalau mereka yang masuk kategori menggunakan itu untuk ngamen, sebenarnya seni itu  jadi hidup selain untuk cari nafkah juga. Kita harus menyadari itu. Jika untuk cari nafkah dilarang, enggak fair juga,” ucapnya.

Karenanya, menurut Trubus, pemerintah harus memikirkan ulang kebijakan itu sebelum diterapkan. Sebab polemik penggunaan Ondel-ondel untuk pengamen ini juga disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah. “Pemprov DKI enggak pernah membina dan memberi arahan secara benar,” tutur Trubus Rahadiansyah. Seyogianya pemerintah tidak melarang, tapi membatasi penggunaan ondel-ondel untuk ngamen. ●(dd)

pasang iklan di sini