Tokoh fiktif itu bernama Nyai Ontosoroh, ia gundik seorang Belanda dengan setting peristiwa di pengujung abad XIX. Panggilan nyai kala itu adalah aib dan penistaan terhadap kaum perempuan pribumi yang dipaksa tinggal tanpa ikatan nikah dengan lelaki Eropa. Ia objek tanpa hak-hak hukum dan hanya mempunyai satu jawaban yang diucapkan dengan pelan terhadap semua yang dikatakan tuannya. “Ya Tuan,” dengan kepala menunduk lantaran ia identik dengan bodoh, jorok dan bermoral rendah. Dalam bukunya, Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menulis, ketidaksetaraan hukum terhdapa nyai dilegalkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1848, bahwa seorang gundik tidak dapat memenuhi perwalian jika ‘suaminya’ meninggal. Dan, ketika seorang lelaki Eropa sudah bosan dengan gundiknya atau sudah mendapatkan calon istri yang juga Eropa, ia bebas setiap saat mengusir sang nyai dari rumahnya, meninggalkan segalanya termasuk anak-anak yang dilahirkan. Reggie tak hanya mengungkap perlakuan nista kolonial terhadap negeri jajahannya, ia sekaligus mengungkap dan menyusuri jalan panjang seorang nyai bernama Moeinah, nenek biologisnya.
Kehadiran Ontosoroh sebagai tokoh cerdas dan keras hati itu agak menghibur kita. Saat berusia 14 tahun, perempuan desa yang lugu ini dijual oleh ayahnya sendiri menjadi gundik orang Belanda. Kaum perempuan memang selalu menjadi korban terdepan dari pranata sosial yang miskin, bodoh dan mistis. Lekuk gemulai tubuh mereka menjadi sumber uang bagi pihak lain, seperti nasib Srintil dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Gadis belia ini harus selalu menari dan menjajakan tubuhnya setiap malam kepada lelaki demi nama harum desanya, Dukuh Paruk. Srintil yang lugu tidak kuasa melawan keadaan lantaran ia dan juga warga desanya tetap terbenam dalam kebodohan. Berbeda dengan Ontosoroh yang menolak dilecehkan. Ia melawan dengan cara belajar dan menguasai ilmu pengetahuan.
Ontosoroh memang cerita fiktif. Ia bukan Kartini yang menggugah dunia melalui surat-suratnya yang dikirim ke sejumlah sahabat pena di Belanda. Tetapi kita dapat menemui curhat Kartini tentang nasib buruk, sistem patriarki adat Jawa dan penjajahan kolonial tak beradab melalui kisah Ontosoroh. Ia tokoh imajinatif yang muncul dalam novel ‘Bumi Manusia’ karya Pramudya Ananta Toer.
Ketika buku itu dilarang beredar pada 1981 lantaran dituding berbau ajaran komunis, saya masih tidak mengerti seperti apakah sebenarnya ajaran dimaksud. Yang saya tahu buku itu justru sebuah karya sastra yang sarat dengan semangat nasionalisme. Lewat penokohan Minke dan Annelies Mellema saya menyimak kepiawaian Pramoedya dalam mengilustrasikan pedihnya menjadi bangsa terjajah. Pram yang berhaluan kiri, kala itu memang tengah berhadapan dengan sebuah rezim yang amat ganas, Orde Baru.
Bukan cuma Bumi Manusia yang dilarang beredar, bahkan mereka yang tertangkap tangan menyimpan buku tersebut ikut diciduk dengan tuduhan ikut mengembangbiakan komunisme.
Hari ini, setelah 39 tahun, ketika Bumi Manusia masuk ke layar bioskop dan menjadi tontotan massal, pertanyaan saya dan juga pertanyaan generasi milenial kini, kembali menggema, apa yang salah dengan Bumi Manusia ? Bagaimana kita bisa memahami komunisme lewat film layar lebar itu.
Masalahnya memang berpulang kepada sosok Pram yang dituding berhaluan kiri. Tentara beringas rezim Orde Baru menciduknya pada 13 Oktober 1965 dan dibuang selama 14 tahun di Pulau Buru, Pramoedya waktu itu tengah menyelesaikan sebuah karya besar, menyusun Ensiklopedi Sastra Indonesia. Namun sayang, semua dokumentasi sejarah yang monumental itu habis dijarah dan dibakar oleh penguasa. Ketika menghirup udara bebas di tahun 1979, ia tak serta merta bebas dari incaran penguasa. Pram masih wajib lapor dan semua karya tulisnya tidak diperkenankan masuk pasar.
Di balik tekanan yang meninsta itu, sosok Pram mengajarkan untuk tidak menyerah kepada kesewanang-wenangan. Ia tetap kokoh sekalipun hampir sepanjang usia produktifnya dilaluinya di dalam penjara. Seperti pesannya melalui dialog di halaman terakhir Bumi Manusia. “Kita kalah, Ma,” bisik Minke. Dan Nyai Ontosoroh menjawab, “Kita telah melawan, Nak,Nyo, sebaik-baiknyasehormat-hormatnya. (Irsyad Muchtar)







