hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Nikel dan Daulat Ekonomi

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.  (UUD1945 pasal 33 ayat 3)

Ada sikap heroik dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika Ia menegaskan hilirisasi komoditas tambang akan tetap jalan kendati saat ini Indonesia digugat Uni Eropa atas larangan ekspor bahan mentah tambang. Gugatan yang dilayangkan ke World Trade Organization (WTO) itu memutuskan Indonesia kalah. Dan jika tidak melakukan banding tentunya harus merevisi kebijakan larangan ekspor tersebut bahkan membayar ganti rugi sejumlah uang kepada pihak penggugat.

Langkah Jokowi sudah benar karena ia berupaya mempercepat  implementasi UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). UU ini mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah. Hilirisasi di sektor minerba adalah kunci pengoptimalan dari produk-produk pertambangan minerba.

Setidaknya, Undang-Undang ini  menyadarkan kita untuk bangkit dari kedunguan berpuluh tahun, bahwa selama ini Indonesia hanya memproduksi bahan mentah di hulu dengan nilai ekonomi relatif rendah. Sementara produk hilir berupa barang jadi yang umumnya dikuasai pihak asing dengan nilai tambah ekonomi berlipat-lipat. Kedunguan ini menjalar hampir di semua sektor komoditas ekspor, tidak cuma aneka barang tambang tetapi juga produksi lain seperti kopi, coklat bahkan hingga garam.

Implikasi dari sikap tegas Jokowi melarang ekspor bahan mentah tambang dari Indonesia dimaksudkan untuk memberi nilai tambah ekonomi kepada rakyat. Ini adalah sebuah imperatif, bahwa tugas pemerintah memang menyejahterakan ekonomi rakyat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negara. Hasilnya juga sangat lumayan, Jokowi menyebutkan sejak larangan diberlakukan pada 1 januari 2020  pendapatan negara melalui ekspor nikel yang sudah dihilirisasi melejit hingga US$30 miliar dari yang sebelumnya hanya US$1,1 miliar

Jika belakangan ini Nikel menjadi tren perbincangan dunia, bisa dimaklumi karena barang tambang ini komponen penting dalam produksi baterai kendaraan listrik, nikel menjadi pendorong perubahan dalam pemanfaatan energi.

Tak ingin tertinggal, Indonesia pun ikut menyongsong tren kendaraan listrik dengan mempromosikan mobil hemat energi dan mempercepat produksi baterai kendaraan listrik. Tentu saja masih dalam kategori ‘anak bawang’ namun Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan memprediksi Indonesia di tahun 2027 bakal menjadi salah satu dari tiga besar dunia yang akan memproduksi lithium baterai juga termasuk mobil EV. Prasyarat ke arah itu, adalah mempercepat proses hilirisasi dan memperluas melarang ekspor barang minerba mentah, tak hanya nikel, tetapi juga barang lainnya seperti timah, aspal, bauksit, dan tembaga karena pajak, royalti, dividen akan masuk ke dalam negeri. 

Indonesia sebagai produsen nikel terbesar dunia dengan kandungan 21 juta metrik ton tentunya bakal menjadi incaran negara-negara di dunia. Mungkin lantaran itu agaknya, Uni Eropa ingin mengulang sukses nenek moyang mereka, ketika mengusai rempah-rempah negeri ini di abad silam.

Dalam konteks ini, kita melihat beleid Jokowi tak hanya bersifat transformatif nilai tambah dan konservasi sumber daya, tetapi juga terkandung upaya kuat untuk mengelaborasi makna daulat ekonomi. Sebuah pakem yang berupaya keras menegakkan gengsi bangsa di mata dunia. Bahwa kita juga mampu menciptakan sumber-sumber ekonomi produktif, alih-alih bangsa konsumtif yang terkagum-kagum dengan produk asing.  

pasang iklan di sini