
Indische Vereeniging, ini perhimpunan anak-anak para pejabat Hindia Belanda yang kuliah di Belanda. Sebuah wadah kongkow-kongkow, sambil dansa- dansi diselingi minuman keras, dan orasi nir wacana politik. Maka jangan tanya apakah mereka mengenal Saijah dan Adinda anak petani miskin di Lebak Banten itu, atau nasib jutaan petani yang mampus lantaran Cultuur Stelsel. Tetapi dari perhimpunan yang berdiri pada 1908 inilah mimpi tentang Indonesia merdeka tercetus. Masuknya sejumlah anak-anak muda kritis, seperti Samsi Sastrawidagda pada 1911, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat pada 1913 disusul Mohammad Hatta pada 1921 mekahirkan paradigma besar tentang arti sebuah negara merdeka. Diskursus tentang Indonesia yang berdaulat secara politik dan ekonomi bergulir jadi kesadaran kebangsaan. Bahwa sebuah negara yang merdeka harus mampu menata ekonomi sendiri, tak larut dalam dalam arus dagang merkantilistis. Untuk merealisir impian itu, bersama mentornya, Samsi Sastrawidagda, pada Agustus 1925 Hatta berangkat ke negara-negara Skandinavia mempelajari bangun ekonomi kesetaraan bernama koperasi. Samsi, doktor ilmu ekonomi pertama dari tanah jajahan, Hindia Belanda, lulus pada 1925 itu menginspirasi Hatta tentang koperasi sebagai bangun usaha yang mampu meningkatkan ekonomi rakyat jelata seperti halnya di kawasan Eropa.
Bangun koperasi model apa yang akan dipelajari Hatta? Bukankah De wolf van Westerode sudah mengenalkan koperasi kredit Raiffesen ke dalam Hulp en Spaarbank di tahun 1897? Bukankah pergerakan Boedi Oetomo (1908) dan Syarikat Islam (1913) sudah pula mengglorifikasikan koperasi. Dan bukankah, pada gilirannya semua tergerus oleh politik kolonial yang tak memberi ruang hidup bagi koperasi. Karena berkoperasi identik dengan berdemokrasi, kesetaraan yang dikhawatirkan menjadi sumber perlawanan arus bawah.
Di negeri asalnya, Inggris, ide koperasi lahir di tengah gemuruh mesin industri kaum kapitalis. Menyeruak di tengah para buruh miskin, yang hak-hak ekonomi mereka terampas oleh maruknya para penyembah harta dan kuasa. Tetapi, kesadaran membangun usaha kolektif itu lahir top-down, di tengah selera ‘humor’ kaum kapitalis bernama Robert Owen. Kaum yang oleh Francis Fukuyama identik dengan kekuatan-kekuatan destruktif yang menghancurkan kesetiaan dan kewajiban tradisional.
Tetapi Owen, punya mimpi lain tentang nilai guna harta. Ia merasa punya salah besar ketika menyadari kesengsaraan para buruh pabrik oleh eksploitasi upah rendah dan jam kerja tak manusiawi, Ia menebus ketimpangan itu dengan sistem kerja yang tidak melulu mengeruk untung. Sang kapitalis itu percaya, hanya dengan cara berkoperasi, kemanusiaan bisa diindahkan.
Hingga Indonesia merdeka, kita masih saja mempelajari penataan koperasi berpola top-down ala kolonial. Bahwa koperasi perlu diatur dan dikendalikan oleh negara ataupun para pemegang modal. Maka makna koperasi tidaklah setara dengan istilah komersial. Istilah yang oleh kalangan pemikir koperasi era ‘jadoel’ dianggap sebagai diksi yang tidak sopan karena koperasi sudah terpatri sebagai entitas nirlaba.
Kendati modal koperasi berupa kumpulan orang alih-alih modal, namun kata Hans Munkner dalam bukunya, Chances of Co-operatives in the future, pelayanan optimal terhadap anggota hanya dicapai jika perusahaan koperasi layak secara ekonomi. Dalam konteks itu, kata Munkner lagi, koperasi memang tidak menekankan peranan modal bagi kelangsungan usaha. Bagaimana mungkin? Jawaban bernas kita temui dari Schumacher, penulis buku Small is Beautiful yang terkenal itu ketika ia bilang bahwa, pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang, pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga unsur itu, semua sumber daya akan tetap terpendam, hanya sekadar kata-kata tanpa karya nyata.[]