Peluangnews – LONJAKAN utang telah mengubah secara dramatis kebutuhan negara-negara berkembang dalam mendorong pertumbuhan ekonominya. Khususnya saat penjualan obligasi internasional dari negara berkembang mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, yakni US$47 miliar pada Januari. Pemberi pinjaman multilateral mengingatkan hal itu.
Kondisi begini masih dipimpin negara-negara berkembang yang kurang berisiko; seperti Arab Saudi, Meksiko dan Rumania. Namun, beberapa emiten berisiko sudah mulai memasuki pasar dengan suku bunga yang lebih tinggi. Kenya baru-baru ini membayar lebih dari 10% untuk obligasi internasional baru. “Itu ambang batas yang dinilai sebagai pinjaman tidak terjangkau,” ujar Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia, Ayhan Kose, tanpa merinci masing-masing negara.
Data Institute of International Finance menunjukkan, tingkat utang global telah mencatatkan rekor USD313 triliun pada 2023. Sementara rasio utang terhadap PDB di seluruh negara berkembang juga mencapai level tertinggi yang memantik potensi ketegangan di masa depan.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global, yang terbit Januari, Bank Dunia memperingatkan bahwa kinerja ekonomi global 2020-2024 berada setengah dekade terlemah dalam 30 tahun. Pertumbuhan global diperkirakan akan melambat berturut-turut menjadi 2,4%, sebelum naik menjadi 2,7% pada 2025.
Koondisi ini membuat banyak tujuan dalam pengeluaran pendidikan, kesehatan dan iklim dipertanyakan. Eskalasi konflik Timur Tengah menambah risiko penurunan lebih lanjut. “Perdagangan telah menjadi pendorong penting pengentasan kemiskinan, dan jelas untuk ekonomi pasar berkembang, sumber pendapatan jadi penting,” kata Kose.
Jika pertumbuhan tetap rendah, beberapa negara berkembang mungkin menghadapi keharusan merestrukturisasi utang. “Cepat atau lambat anda perlu merestrukturisasi utang dan anda harus memiliki kerangka kerja. Itu belum terjadi seperti yang prediksi komunitas global.” Negara-negara G20 meluncurkan Kerangka Kerja Bersama pada tahun 2020, ketika pandemi menjungkirbalikkan keuangan kebanyakan negara.
Program ini bertujuan untuk mempercepat dan menyederhanakan proses negara-negara yang tertekan utang sehingga dapat kembali berdiri. Tetapi prosesnya telah mengalami penundaan, dengan Zambia terkunci dalam default selama lebih dari tiga tahun. “Jika pertumbuhan tetap lemah dan kondisi pembiayaan tetap ketat, anda tidak akan melihat jalan keluar yang mudah dari masalah ini,” ujar Kose.●(Nay)