
Oleh: Edy Mulyadi
PeluangNews, Jakarta – Peradilan Malaysia sedang memberi pesan yang sangat jelas kepada dunia, khususnya tetangga dekatnya: Indonesia. Mantan Perdana Menteri Najib Razak divonis total 165 tahun penjara dan denda sekitar Rp47 triliun.
Pengadilan menyatakan dia bersalah atas kejahatan korupsi dan pencucian uang dalam skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Hukuman itu memang dijalankan secara concurrent, jadi 15 tahun. Meski begitu, pesannya tak bisa dianggap remeh. Mantan kepala pemerintahan tidak otomatis kebal hukum.
Ironinya, bila dilihat dari skala kerugian negara, kasus Najib justru terasa ‘lebih kecil’ dibanding berbagai skandal mega-korupsi di Indonesia. Skema 1MDB diperkirakan merugikan Malaysia lebih dari RM50 miliar (sekitar Rp175 triliun). Dari jumlah itu, aliran dana yang dinikmati langsung Najib sekitar RM2,3 miliar atau Rp7,6 triliun.
Sementara di Indonesia, publik berulang kali disuguhi kasus dengan potensi kerugian ratusan triliun rupiah, bahkan mendekati Rp1.000 triliun. Di sini ironinya, penyelesaian kejahatan luar biasa itu tak pernah benar-benar menyentuh dalang di balik para wayang.
Kasus Najib bukan soal angka semata. Dia adalah potret runtuhnya seorang pemimpin yang menjadikan dana negara sebagai instrumen kepentingan pribadi dan jejaring politiknya.
1MDB yang didirikan pada 2009 sebagai dana investasi nasional, dibajak menjadi mesin pencucian uang lintas negara. Penyelidikan internasional, termasuk oleh otoritas Amerika Serikat, mengungkap sedikitnya US $4,5 miliar dana publik dijarah.
Dari jumlah itu lebih dari US $1 miliar mengalir ke rekening pribadi Najib. Vonis pengadilan mencakup empat dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan 21 dakwaan pencucian uang.
Pesan utamanya lugas. Hukum boleh lambat, tapi akhirnya mengejar elite. Malaysia, dengan segala kekurangannya, menunjukkan bahwa peradilan masih bisa berfungsi sebagai alat koreksi kekuasaan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia, khususnya selama 10 tahun kekuasaan Presiden Joko Widodo?
*Jejak kejahatan Jokowi: dahsyat!*
Sepanjang satu dekade ini, tuduhan kolusi, nepotisme, dan mengistimewakan oligarki terus membayangi. Pola kebijakan negara kerap menguntungkan segelintir konglomerat. Proyek infrastruktur strategis dikuasai kelompok yang relatif sama. Regulasi sektor tambang dan sawit dilonggarkan. Sering kali harus dibayar dengan harga mahal bagi lingkungan dan masyarakat adat. Ini bukan vonis hukum, melainkan fakta politik dan etika kekuasaan yang hingga kini tak pernah diuji secara independen.
Nepotisme bahkan tampil telanjang dalam episode Mahkamah Konstitusi. Putusan kontroversial yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden jadi preseden berbahaya. Konstitusi dibengkokkan demi dinasti. Legitimasi demokrasi prosedural terkikis di depan publik.
Dalam konteks pemilu, cawe-cawe Jokowi pada Pilpres 2024 mengundang sorotan internasional. Dugaan intervensi aparat, pemanfaatan bantuan sosial, hingga problem data pemilih dikritik oleh lembaga seperti Amnesty International. Human Rights Watch menyebut Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pun stagnan di kisaran 34–38 sepanjang dekade ini. Kekuasaan terkonsentrasi, mekanisme checks and balance melemah.
Pertanyaan krusial pun mengemuka: bisakah Jokowi di-Najib-kan? Secara teoritis, bisa. Sistem hukum Indonesia menyediakan mekanismenya. KPK dapat menyelidiki dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme berdasarkan UU Tipikor. DPR memiliki hak angket untuk menelisik kebijakan strategis. Sengketa konstitusional dapat diuji di Mahkamah Agung dan atau MK. Tekanan publik, melalui gerakan sipil, secara historis pernah memaksa perubahan besar.
Namun realitas politik membuat semua itu nyaris mustahil. Jokowi masih memiliki pengaruh luas di birokrasi dan aparat penegak hukum. Revisi UU KPK tahun 2019 yang melemahkan lembaga antikorupsi adalah bukti nyata. Sementara jaringan loyalisnya tersebar di Polri dan Kejaksaan. Oligarki yang diuntungkan memiliki daya finansial dan politik untuk mengunci proses hukum. Berbeda dengan Najib yang benar-benar tumbang pasca-kekalahan 2018, Jokowi tetap menjadi poros kekuasaan bahkan setelah lengser.
Indonesia juga belum mengalami political rupture yang memutus kesinambungan rezim lama. Presiden baru, Prabowo Subianto, lahir dari dukungan politik Jokowi. Status quo lebih mungkin dipelihara daripada dibongkar.
Pada akhirnya, vonis Najib Razak adalah cermin yang memalukan sekaligus peringatan keras. Keadilan hanya mungkin lahir dari lembaga yang independen dan tekanan publik yang konsisten. Tanpa reformasi mendalam, pertanggungjawaban elite di Indonesia akan terus menjadi wacana kosong. Demokrasi tidak runtuh oleh satu figur, melainkan oleh pembiaran sistematis terhadap kejahatan kekuasaan. []
[Penulis adalah wartawan senior]







