hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Napak Tilas di Redup Denyut Layar Lebar

            Sampai dengan medio 80-an, ajang seremonial FFI terasa prestisius. Baik bagi insan perfilman maupun publik. Dihelat sejak 1955, pesta yang mestinya tahunan itu beberapa kali absen, bahkan sempat beku 12 tahun.

AJANG penghargaan tertinggi bagi dunia perfilman di Indonesia adalah FFI, Festival Film Indonesia. Atas kepiawaian berakting, ada ganjaran Piala Citra. Tersedia berbagai kategori—sutradara, sekenario, cerita asli film, tata fotografi, penyuntingan, tata musik, tata suara, dan tata artistik terbaik—dengan Aktor Terbaik dan Aktris Terbaik sebagai kategori paling prestisius. Seperti Kejuaraan Sepak Bola Dunia, yang bakal nempel lama dalam ingatan publik adalah kedua negara finalis. Di FFI, puncak piramid itu dihuni aktor dan aktris terbaik.

Sebagai event bergengsi di kalangan insan film, FFI mengalami pasang dan surut. Digelar pertama kali tahun 1955. Pelopornya dua tokoh perfilman, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Gelaran berikutnya tahun  1960 dan 1967. Awalnya ajang ini bernama Pekan Apresiasi Film Nasional. Mulai teratur sejak 1973 dan disebut FFI. Antara tahun 1970 dan 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik versi PWI Jaya Seksi Film. Terhenti pada 1992, FFI baru digelar 12 tahun kemudian. Sejak saat ini, untuk film televisi ada penghargaan Piala Vidia.

Pekan Apresiasi pertama digelar di Jakarta, 30 Maret5 April 1955, semasa pemerintahan Wali Kota JakartaSudiro, dan Menteri PPKProf. Dr. Bahder Djohan. Helat dilaksanakan di Rumah Dinas Wali Kota Jakarta Raya, Jl. Taman Suropati No. 7, MentengJakarta Pusat. Pergelaran kedua, 21-25 Februari 1960, juga di Jakarta. Film terbaik dimenangi oleh “Turang, yang disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik.

Pekan Apresiasi Film Nasional ketiga, 9-16 Agustus 1967, tetap diadakan di Jakarta. Kali ini disepakati tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh pada Misbach Jusa Biran (“Dibalik Tjahaja Gemerlapan). Pemenang pemeran utama pria ialah Soekarno M. Noor dan pemeran utama wanita Mieke Wijaya (“Gadis Kerudung Putih”).

Kegiatan FFI ini pada akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Film Indonesia (YFI). Yayasan ini mendapat dukungan Departemen Penerangan Republik Indonesia. Pada waktu itu, Deppen merupakan institusi pembina perfilman nasional. YFI mengadakan festival film tahun 1973, yang seterusnya disebut Festival Film Indonesia. Dalam pergelaran ini, lewat film “Perkawinan”, Wim Umboh dinobatkan sebagai pemenang Piala Citra untuk sutradara terbaik.

Di satu sisi, pemilihan Aktor/Aktris Terbaik versi wartawan dihentikan pada tahun 1975 YFI. Pada sisi lain, Departemen Penerangan memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasional. Alhasil, melalui lembaga ini, pelaksana FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur. Selanjutnya, sejak tahun 1982 penyelenggaraan FFI sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional.

Sejak saat itu pulalah penyelenggaraan FFI berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Kota Medan dapat jatah tahun 1983. Tahun berikutnya giliran Yogyakarta, lalu di Bandung tahun 1985 dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, dengan acara puncak dilangsungkan di Denpasar, Bali. Patut digarisbawahi, penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri antara insan perfilman dengan masyarakat sebagai penontonnya.

Sepanjang dekade 1980-an, sebagaimana disebut di atas, acara FFI rutin diadakan tiap tahun. Boleh jadi inilah masa keemasan insan film Indonesia. Film-film diproduksi dengan bergairah.  Sambutan masyarakat yang positif menjadikan bioskop hidup di mana-mana. Masa jaya dunia layar lebar berakhir ditandai dengan perubahan yang drastis pada pengujung 80-an hingga awal 90-an. 

Perfilman Indonesia praktis kehilangan arah dan jati dirinya ketika memasuki tahun 1990-an. Entah bagaimana harus menjelaskannya, hampir semua film yang dihasilkan berkutat dalam tema yang khusus berbau dewasa. Judul-judul film yang diproduksi waktu itu nora’, dangkal, dan mencerminkan selera rendah. Pada saat itu, film Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah di negara sendiri. Wajar jika posisi ‘tuan rumah’ itu digantikan film-film besutan Hollywood dan Hong Kong.

Di periode awal 90-an ini perfilman Indonesia boleh dikatakan mati suri. Dari sisi jumlah, film yang diproduksi haya 2-3 buah tiap tahun. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru. Hal inilah yang membuat FFI 1992 menjadi Festival Film Indonesia terakhir di pengujung abad XX.

Di awal tahun 2000-an, kondisi perfilman Indonesia menggeliat positif . Jumlah produksi film nasional tumbuh menggembirakan. Festival Film Indonesia kembali diadakan pada tahun 2004, setelah vakum selama 12 tahun. Selain Piala Citra, ajang FFI juga memperkenalkan Piala Vidia sebagai simbol prestasi sinematografis di dunia pertelevisian. Tapi, setelah digelar tiga kali, FFI lagi-lagi terhenti sejak 2007 hingga 2010.

Satu hal yang penting dicatat,  penyelenggaraan FFI 2006 menyisakan kontroversi yang tak sedap. Yakni ketika film “Ekskul” dinyatakan sebagai Film Terbaik. Dewan juri dinilai kurang jeli, atau bahkan kurang wawasan. Beberapa pribadi yang merasa tak pantas denan kepurusan itu angkat suara. Masyarakat Film Indonesia (MFI) dengan yakin menuding bahwa film itu sarat dengan unsur plagiat.

Dalam sistem penilaian, FFI meniru model dua tahap Academy Awards-nya Amerika. Selain memilih film, aktor, aktris pembantu, sutradara, sekenario, cerita asli film; juga tata fotografi, penyuntingan, tata musik, tata suara, dan tata artistik terbaik. Kepada mereka diberikan penghargaan berupa Piala Citra. Sesi Piala Vidia (Widya) untuk sinema elektronik (video cerita dan noncerita) dan film noncerita (dokumenter, pendidikan/ penyuluhan/penerangan, dan pariwisata), Piala S. Tutur untuk poster film, dan Piala Mitra untuk kritik film (film cerita dan noncerita).

Terhitung sejak 2014, FFI dilaksanakan oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI). Sejak saat itu pula, sistem penjurian FFI diubah. Sedari 1955, penilaian FFI dilakukan oleh panel Dewan Juri beranggotakan 7 atau 9 orang. Namun, mulai 2014 diubah menjadi 100 orang. Sistem penjuriannya dilakukan dalam dua tahap, dengan melibatkan akuntan publik.

Untuk tahun ini, rangkaian FFI berlangsung sejak Juni. Acara diagendakan Desember 2020. Masyarakat dapat mengikuti sejumlah kegiatan yang dipublikasikan pada akun YouTube Kemendikbud RI, BudayaSaya, TV Edukasi, dan Festival Film Indonesia, serta akun Twitter, Facebook, dan Instagram Pusbangfilm dan Festivalfilmid.●(dd)

pasang iklan di sini