Jerry Massie sarankan pentingnya mencari pemimpin yang jujur dan tidak serakah serta freedom from financial.
DALAM hal praktik korupsi, cita-cita good and clean government negeri ini masih jauh panggang dari api. Hasil survei dari lembaga Transparency International mengenai “Negara Terkorup Se-Asia” menempati Indonesia di peringkat ketiga. Survei tersebut digelar sejak Juni hingga September tahun ini terhadap 20.000 responden di 17 negara Asia.
Peneliti Political and Public Policy Studies, Jerry Massie, mengomentari hasil survei ini melalui siaran pers yang dibagikan Senin lalu (30/11). Jerry menyebut, hasil survei itu menilai melalui tiga hal. Pertama, tentang lemahnya hukuman kepada koruptor, kedua aturan terkait korupsi yang berubah-ubah, yang ketiga maraknya budaya korupsi di partai politik.”Ini sudah mengakar di parpol lantaran dijalankannya sistem mahar politik,” ujar Jerry.
Di era Presiden Joko Widodo, katanya, bisa dilihat sejumlah menteri yang ketahuan korupsi dan ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti; mantan Menteri Sosial Idrus Marhan, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Iman Nahrawi, dan yang teranyar Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. “Sejauh ini, sudah 300 kepala daerah tersangka korupsi. Dan terakhir Walikota Cimahi yang ditangkap KPK,” ujarnya.
Menurut Jerry Massie, label peringkat ketiga negara terkorup di Asia yang didapat Indonesia juga disebabkan adanya salah cara penanganan korupsi. Dia menyebutkan, hukuman yang dijatuhkan terhadap koruptor tidak cukup membuat jera. “Bagaimana mungkin jika UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31 Tahun 1999 dan No 20 Tahun 2001 terus dipreteli dan sanksi hukuman terhadap para koruptor itu kerap diringankan? Ditambah lagi dengan kebijakan ajaib yang memberlakukan program asimilasi dan pengurangan hukuman atau remisi,” ujar Jerry.
Jika diterapkan model perampasan kekayaan dengan kata lain memiskinkan para koruptor atau penerapan hukuman mati, tak ada remisi, keluarganya tak bisa masuk pemerintahan;Jerry yakin koruptor akan jera. Iatak luput mempertanyakan moral Mahkamah Konsritusi (MK) yang membolehkan koruptor ikut Pilkada. Sementara berdasarkan hasil kajiannya terhadap sejumlah negara tidak ditemuan para koruptor bisa jadi pejabat.
“Harusnya MK menolak. UU Parpol No 2 Tahun 2008 dan No 2 Tahun 2011 perlu juga direvisi. Semestinya, para koruptor tak bisa dicalonkan, mulai kepala daerah sampai presiden,” tuturnya. Lebih lanjut, Jerry mengkritik tentang adanya pelanggaran dan penyimpanan administasi—yang terkesan tak disikapi sebagai kekeliruan serius. Mulai dari DIPA, DAK dan DAU yang diperkecil atau ditunda pencairannya.
Selain itu, dia juga menyoroti soal tingkat penyuapan yang tercatat di dalam survei tersebut, yang diperingkat pertama ditempati India dengan angka 39 persen, disusul Kamboja 37 persen dan di Indonesia 30 persen. “Indonesia perlu berlajar dari Vietnam, Korea Utara dan Taiwan atau bahkan Cina. “Sejak hukuman mati bagi koruptor diberlakukan (khususnya di Cina), tingkat korupri mereka turun jauh,” katanya.“Selama hukuman masih ringan, kebijakan lemah dan berubah-ubah, maka jangan mimpi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita akan menjadi baik. Sebab, maling sangat sulit bertobat; tak seperti pembunuh,” ujar Jerry Massie. Karena itu, katanya, negara bisa bersih dari korupsi jika masyarakat cerdas memilih pemimpin. Artinya, tidak memilih orang-orang yang sedang dan pernah terlibat kasus.“Kasus gratifikasi dan suap sangat menonjol di negeri ini. Kalau mau bersih indikatornya sederhana: cari pemimpin yang jujur dan bukan manusia serakah serta freedom from financial,” ujarnya.







