JAKARTA—Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Fadjar Hutomo menyampaikan perkembangan teknologi digital membawa pergeseran pola di masyarakat dalam berkarya maupun menikmati karya kreatif termasuk di bidang musik yang saat ini semakin banyak dipergunakan untuk konten.
“Pelaku kreatif sebaiknya bmemahami pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai upaya perlindungan dan komersialisasi terhadap karya musik,” ujar Fadjar dalam webinar “Royalti di Bidang Musik: Cara Memperolehnya di Era Digital”, Sabtu (6/6/20).
Fadjar mengungkapkan, pada situasi pandemi seperti sekarang ini yang membuat masyarakat banyak beraktivitas di rumah sehingga meningkatkan konsumsi layanan digital produk kreatif.
Dia memprediksi pada masa depan konsumsi digital akan meningkat pesat sehingga sangat dibutuhkan ekosistem yang kondusif untuk itu, ekosistem yang dapat memberi perlindungan karya dan hak bagi pelaku ekonomi kreatif di bidang musik.
Turut hadir dalam webinar tersebut Candra N Darusman selaku Perwakilan Indonesia di World Intellectual Property Organization (WIPO) periode 2001-2019, Meidi Ferialdi selaku General Manager Wahana Musik Indonesia, Sandy Canester selaku Musisi, Komposer juga Produser, serta Robinson Sinaga selaku Direktur Fasilitasi Kekayaan Intelektual Kemenparekraf/Baparekraf.
Fadjar mengatakan, musik sebagai satu dari 17 subsektor ekonomi kreatif perlu mendapat perhatian karena masih banyak terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap hak kekayaan intelektual. Seperti pembajakan atau konsumsi secara ilegal terhadap karya.
Karenanya kesadaran dan pemahaman dari masyarakat masih harus terus ditingkatkan mengenai pentingnya hak kekayaan intelektual baik masyarakat sebagai penikmat karya cita tersebut juga pemahaman tentang hukum atau hak kekayaan intelektual bagi para pelaku kreatif.
Sementara Robinson Sinaga mengatakan, HKI penting dipahami pelaku kreatif di bidang musik karena terdapat hak ekonomi di dalamnya, yakni bentuk royalti.
“Di antaranya adalah performing right atau hak pengumuman untuk mengizinkan diputar/didengarkan di tempat-tempat umum atau tempat publik dapat mendengarkan,” kata Robin.
Hanya saja lanjut dia, tidak serta merta penyanyi atau pemain musik, atau pencipta lagu dapat langsung menarik hak ekonominya.
Dalam undang-undang terbaru yang mengatur masalah pemungutan royalti, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba diberi kuasa oleh pencipta, pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
“Pemerintah melihat kesulitan dari pencipta lagu untuk mendapatkan hak ekonominya. Maka kemudian dibentuklah sistem yang memberi kuasa kepada lembaga manajemen kolektif untuk memungut,” ucap Robinson.
Untuk itu ia mengimbau para pelaku kreatif di bidang musik untuk dapat bergabung ke LMK.
“LMK memiliki izin operasional dari Menteri Hukum dan HAM dan dilakukan audit setiap tahunnya. Sehingga tidak perlu khawatir bagi pelaku kreatif untuk mendapatkan hak-hak atas HKI karya mereka,” tutur dia.
Tidak hanya dalam lingkup Indonesia, dengan bergabung dalam LKM juga memproteksi pelaku kreatif musik atas karya-karyanya di luar negeri.
Pembicara lainnya, Candra N Darusman mengatakan, lembaga PBB yang khusus menangani Hak Kekayaan Intelektual yakni World Intellectual Property Organization (WIPO) telah mencetuskan beberapa perjanjian internasional yang memberikan perlindungan internasional terhadap kekayaan intelektual.
Di antaranya adalah Berne Convention (1886), WCT&WPPT (2002) juga Beijing Treaty (BTAP) tahun 2012.
“Indonesia sudah tergabung dalam perjanjian itu, Indonesia termasuk negara yang agresif dalam melindungi karya pelaku kreatifnya di luar negeri. Jadi musisi tidak hanya terlindungi dalam transaksi di Indonesia tapi juga luar negeri,” pungkas Candra.