Banyak perusahaan rintisan melakukan PHK massal menyusul seretnya suntikan dana dari investor. Kini investor lebih melirik startup yang sumber pemasukan dan arus kasnya stabil daripada model bisnis “bakar uang”.
Startup digital alias bisnis rintisan awalnya sempat didewakan sebagai bisnis masa depan yang cerah. Bahkan diprediksi bakal kebal pandemi. Namun apa lacur, perusahaan yang sukses mendisrupsi hampir semua segmen bisnis menjadi lebih efisien itu kini mulai mengurangi karyawannya dalam jumlah signifikan. Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal itu bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi dalam skala global.
Berdasarkan data Trueup, pada tahun ini terdapat 354 perusahaan teknologi, termasuk startup, yang melakukan PHK. Jumlah pegawai yang terkena PHK sebanyak 65.494 orang sampai pertengahan tahun. Hal ini menandakan berakhirnya bulan madu startup dengan konsumen melalui program “bakar uang”.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro, PHK di startup marak terjadi karena berkurangnya likuiditas.Hal ini menyebabkan investor tidak lagi jor-joran mendanai perusahaan rintisan tersebut. Kini investor semakin selektif dengan tidak lagi akan menyetujui ‘bakar uang’ yang tidak ada habisnya. Oleh sebab itu, startup melakuakn rasionalisasi terhadap karyawannya.
Program efisiensi lain yang juga dilakukan startup adalah mengerem promosi atau menunda peluncuran produk baru. Sehingga lebih mengandalkan produk dan layanan lama untuk mempertahankan pangsa pasarnya.
Laju startup Indonesia beriringan dengan penetrasi internet yang semakin meluas. Kemudahan dan peningkatan kecepatan internet setiap tahun mendorong investor global maupun regional untuk menanamkan dananya di perusahaan startup digital di Indonesia. Sehingga mereka muncul bak cendawan di musim hujan.
Mengutip data Startup Ranking, per Maret 2022 terdapat 2.331 startup di Indonesia dan menempati posisi kelima terbanyak di dunia. Faktor demografi yang besar menjadi salah satu daya tarik investor menggenjot pertumbuhan startup di Tanah Air. Jenis usahanya pun bervariasi mulai dari jasa pembayaran, solusi finansial, pendidikan, perhotelan, transportasi dan lainnya.
Dari sisi konsumen, kehadiran startup sebenarnya sangat membantu karena memudahkan kebutuhannya terpenuhi. Ambil contoh, di sektor transportasi konsumen cukup mengakses aplikasi di ponsel pintarnya untuk bepergian kemana pun. Begitu pula jika harus memesan hotel tinggal berselayar menggunakan aplikasi.
Fenomana PHK massal di startup digital menurut peneliti Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda disebabkan ketergantungan terhadap pendanaan investor. Sehingga ketika aliran dananya seret maka operasional perusahaan rintisan ikut limbung. “Makanya mereka melakukan PHK sebagai langkah efisiensi biaya,” ungkap Nailul Huda.
Terlebih model bisnisnya masih banyak yang menggunakan pendekatan “bakar uang” untuk menggaet konsumen sehingga membutuhkan suntikan dana baru yang cukup besar dari investor atau perusahaan modal ventura. Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi global seperti sekarang potensi seretnya dana investor diprediksi akan terus berlanjut. Hal ini berpotensi terjadinya bubble teknologi digital.
Sekadar mengigatkan, pada rentang 1998-2000 dunia mengenal istilah Dotcom Bubble atau gelembung teknologi informasi. Saat itu, banyak bursa saham di negara-negara industri yang naik secara tajam dari segi ekuitas. Peristiwa itu juga mendukung tumbuhnya industri berbasis internet dan bidang-bidang yang berkaitan. Sayangnya tidak semua startup digital dapat mempertahankan kesuksesannya.
Ambil contoh perusahaan Pets.com yang hanya bertahan selama sembilan bulan sebelum bangkrut. Beberapa perusahaan berbasis digital lain, seperti Boo.com, Webvan, dan beberapa perusahaan telekomunikasi lainnya, langsung bubar jalan juga. Jika ditotal, rata-rata nilai saham perusahaan berbasis internet turun hingga 75% saat itu.
Dotcom bubble adalahgelembung yang tercipta gara-gara kemudahan modal, kepercayaan pasar yang terlalu besar, serta spekulasi murni. Maka, saat indeks Nasdaq mencapai puncak pada 10 Maret 2000 dengan nilai 5048, beberapa perusahaan digital lain langsung latah untuk melantai di bursa. Maka terjadilah panic buying di kalangan investor. Sesudah beberapa minggu, saham langsung anjlok. Pada akhir 2001, banyak perusahaan dotcom yang gulung tikar dan menyebabkan investor rugi besar.
Sampai pertengahan tahun setidaknya ada enam startup di Indonesia yang melakukan PHK massal dengan beragam alasan. Keenam perusahaan tersebut yakni TaniHub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, dan Mobile Premier League (MPL).
Bahkan untuk MPL, platform e-sport dan gim asal India, selain mem-PHK 100 orang karyawannya mereka juga memutuskan keluar dari pasar Indonesia. Hal ini karena pasar domestik dinilai kurang prospektif sehingga pertumbuhan bisnis usahanya terus melambat.
Sementara Zenius, platform digital di sektor pendidikan, menyatakan bahwa PHK sebanyak 200 orang karyawannya dilakukan lantaran perusahaan sedang mengalami kondisi ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini mendorong Zenius untuk melakukan konsolidasi dan sinergi proses bisnis untuk memastikan keberlanjutan usahanya.
Agar fenomena Dotcom Bubble tidak terulang dan perusahaan startup tetap eksis dalam menghadapi turbulensi ekonomi, perusahaan startup seyogyanya perlu melakukan perombakan model bisnis dengan tidak lagi jor-joran dalam promosi.
Prioritas pada revenue stream dan kualitas arus kas dapat dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha. Model bisnis yang menitikberatkan pada kesehatan arus kas dan sumber pendapatan yang stabil kini lebih seksi di mata investor. (Kur).