Bila terdampar di perairan Singapura, mereka tidak ditangkap polisi. Soalnya, aparat negeri Singa tahu persis mereka merupakan komunitas Suku Laut di Kepulauan Riau.
Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau, Indonesia. Sebutan lain untuk Orang Laut adalah Orang Selat atau Kelana Laut. Tapi kadang dirancukan dengan suku bangsa maritim lainnya, Orang Lanun.
Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan.
Suku Laut atau Orang Laut adalah komunitas yang terikat kehidupannya dengan laut secara keseluruhan, baik itu hidup atau kehidupanya. Sehingga, walau sudah tinggal di darat, suatu saat pasti akan kembali lagi ke laut. Ini khusus untuk perantau orang laut. Mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.
Suku Laut (Sea Nomads) atau Suku Sampan terkonsentrasi berada di wilayah perairan Batam, berada di sekitar Selat Malaka, Selat Philip, dan Laut China Selatan. Di Kepulauan Riau dan Lingga mereka juga dikenal juga sebagai Orang Pesukuan. Atau Orang Mantang (mendiami Pulau Mantang), Orang Tambus (mendiami Kampung Tambus, Pulau Galang), Orang Mapor (mendiami Pulau Mapor), hingga nama Bajau yang digunakan sebagai sinonim Orang Laut di perairan Ruang-Lingga.
Orang Laut sendiri tercatat ada 155 suku. Dokumen mereka ada dalam catatan sejarah Kesultanan Indragiri pada 1936. Di Indragiri Hilir terdapat suku Orang Laut, Bajau, Rarano dan lainnya. Masing-masing suku memiliki bahasa sendiri; tetapi mereka punya bahasa kesatuan.
Orang Laut memegang peranan penting dalam mendukung kejayaan kerajaan-kerajaan di Selat Malaka. Pada zaman Sriwijaya mereka berperan sebagai pendukung imperium tersebut. Secara historis, Orang Laut berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh Suku Bugis.
Pola pemukiman dan pergaulan sosial Orang Laut itu pasti berkelompok. Mereka tinggal di perahu atau sampan. Mereka disebut Orang Laut karena melakukan seluruh aktivitas dan kegiatan hidup di laut. Perahu atau sampan difungsikan sebagai rumah. Kelompok tercipta agar mereka saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menafkahi hidup, mereka mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti tempuling, tombak dan serampang.
Di atas perahu beratapkan kajang dari daun rumbia itulah anak mereka lahir, hidup, dewasa, nikah dan membangun perahu baru nantinya. Di dalam satu sampan berisi satu keluarga. Meskipun begitu, hampir 95 persen kehidupan mereka berpusat di dan dari laut. Ada 5 persen keluar untuk sekolah dan merantau.
Menurut Cynthia Chou (2009) dalam Sejarah Melayu, Orang Laut dikenal sebagai penjaga wilayah perairan kesultanan, pasukan perang, dan bertugas menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi pihak kesultanan. Mereka berperan penting dalam kejayaan Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor, dan Kerajaan Sriwijaya. Tugas merekalah menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, hingga memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang setia terhadap kerajaan.
Wilayah perairan Kepulauan Riau merupakan kawasan yang didiami oleh beberapa klan Orang Laut. Masing-masing klan dipimpin oleh seorang Batin (Kepala Suku). Dalam satu kelompok suku laut atau klan bisa mencapai sekitar 30-an kajang/sampan. Tiap sampan dihuni oleh satu keluarga.
Di atas kajang ini pula mereka mencari pasangan hidup dan membentuk keluarga baru. Mereka akan mendarat di suatu pulau jika mereka hendak mengambil air bersih, mengebumikan anggota kelompok yang meninggal dunia, dan menjual ikan hasil tangkapan.
Sebagian besar bayi lahir di dalam sampan saat berada di tengah lautan. Tidak sedikit yang meninggal dunia karena tidak adanya pertolongan dari tenaga medis, baik bidan, perawat, maupun dokter. Hal ini tentu saja karena kondisi yang serba minim dan tidak memenuhi persyaratan sebuah persalinan. Mereka percaya bayi yang lahir di sampan yang sedang berlayar merupakan orang suku laut yang sesungguhnya. Sesuai tradisi, bayi itu pun langsung dimandikan air laut dan ditetesi air laut ke bibirnya.
Supaya terbiasa dengan kehidupan laut. Sejak kanak-kanak, mereka sudah diajarkan kiat hidup di lautan. Mulai saat berlabuh, memasang layar, mendayung, memfungsikan mesin kapal, isyarat-isyarat khusus menghadapi ancaman, serta kehidupan pribadi. Misalnya, jika kedua dayung sampan disilangkan, artinya orang tuanya sedang bermesraan. Tidak boleh diganggu. Jika kedua orang tuanya pergi dari tepi pantai sekitar 100 meter, artinya sedang memadu kasih. Isyarat itu berlaku dan dipahami bersama.
Bila terdampar di perairan Singapura, umumnya mereka tidak ditangkap polisi. Soalnya, aparat negeri Singa tahu persis mereka berasal dari suku laut di Kepulauan Riau. Selain itu orang Cina Singapura juga butuhkan ikan teripang yang mereka jual. Ikan ini tidak hanya favorit bagi suku laut, tetapi juga warga Singapura. Mereka berani membeli dengan harga dolar Singapura yang tinggi. Transaksi dilakukan di tengah lautan.
Memiliki akar tradisi bahari yang sangat kuat, kehidupan Suku Laut sangat kental dengan hukum adat budaya maritim. Pemerintah berupaya ‘mendaratkan’ mereka dengan membangun sarana perumahan, kesehatan, dan pendidikan di pesisir pantai. Pada awalnya Orang Laut menurut. Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Darat hanya sebagai persinggahan sementara, mereka pun kembali ke laut sebagai habitat.
Namun, lambat laun Suku Laut semakin sulit ditemui. Pelan-pelan mereka mulai terlupakan. Jika pun ada, mereka jarang bisa dikenali. Banyak yang menduga, mereka telah menetap di darat. Mereka menghuni Pulau Ngenang, salah satu pulau kecil di Batam. Tuntutan keadaan membuat mereka realistis untuk memilih tinggal di rumah panggung dan berbaur dengan masyarakat umum.
Masalah kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi kaum gipsi laut itulah yang mendorong sebagian mereka berubah orientasi. Mereka pun memilih bermukim di pulau. “Sejak 1973 kami tidak lagi menetap di laut. Sepuluh tahun terakhir kami tidak lagi melaut atau mencari ikan,” kata Batman (70), pawang atau tokoh adat Suku Sekak, salah satu kelompok Suku Laut yang berdiam di Desa Baskara Bakti, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah.
Orang Laut sebenarnya bisa saja kembali melaut, melestarikan tradisi nenek moyang. Tapi pendapatan (ikan) dari melaut tidak seimbang dibanding biaya pembeli bahan bakar. Apalagi jumlah tangkapan ikan kian menipis dan makin sulit didapatkan.●(Zian)