Banyak alasan melatar-belakangi KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan sebuah organisasi keagamaan berbasis Islam pada 18 November 1912. Organisasi itu bernama muhammadiyah, nama yang kala itu terdengar aneh di telinga masyarakat Jawa, terutama di Yogyakarta tempat Muhammadiyah lahir. Keprihatinan sosial terhadap kondisi masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) yang masih terjajah, pendidikan rakyat yang rendah dan ajaran Islam yang makin jauh dari tuntutan Nabi Muhammad, menjadi sasaran perjuangan Muhammadiyah yang menegaskan posisinya sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah. Tajdid dimaksudkan adalah gerakan pembaharuan Islam yang melepas keyakinan para pemeluknya dari mistik, tahayul dan khurafat.
Dorongan agar Muhammadiyah berdiri juga mendapat dukungan dari aktivis Boedi Oetomo (BO), dimana Ahmad Dahlan tercatat sebagai anggota organisasi nasional yang jadi tonggak awal kebangkitan semangat kebangsaan Indonesia. Pengaruh yang kuat dari aktivis BO juga banyak mempengaruhi Ahmad Dahlan untuk menegaskan Muhammadiyah memberi concern yang tinggi terhadap pendidikan baik agama maupun ilmu-ilmu umum.
Sepeninggal Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923, bendera Muhammadiyah sebagai sarikat sosial-keagamaan tidak redup. Organisasi kian berkibar dan menyebar ke berbagai daerah
di luar Jawa. Hingga kini, cabang Muhammadiyah tersebar di 34 provinsi dan 23 cabang istimewa di luar negeri itu, Jumlah anggotanya per 2019 mencapai 60 juta orang, sangat heterogen, mulai dari petani, pengusaha, hingga cendekiawan.
Sebagai gerakan pendidikan dan dakwah Muhammadiyah boleh dibilang telah mampu mewujudkan impian Ahmad Dahlan, Sarikat yang mengelola lahan seluas 21 juta m2 ini memiliki hampir 20 ribu sekolah, 13.000 masjid dan musholla, 765 BPR, 635 panti asuhan, 457 Rumah sakit dan klinik, 437 baitul mal, 176 universitas dan 102 pondok pesantren. Total asetnya ditaksir lebih dari Rp1.000 triliun yang menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terkaya di dunia.
