Didahului proses legal berupa Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB), berlanjut dengan pertarungan hukum baik melalui RUPS maupun peradilan umum, dan berakhir dengan eksekusi paksa di lapangan dengan bantuan kepolisian.
SALAH satu cara kerja mafia tambang adalah upaya paksa mengambil perseroan pemilik sah Izin Usaha Pertambangan (IUP) melalui proses hukum yang terlihat legal dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat. Dalam catatan Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, model kejahatan yang disebut hostile take over itu merupakan modus konvensional yang banyak dilakukan pelaku mafia tambang.
Ini juga yang terjadi pada kasus perseteruan PT Asia Pacific Mining Resources (APMR) pemilik saham mayoritas perusahaan nikel PT Citra Lampia Mandiri (CLM) dengan PT Aserra Mineralindo Investama (AMI) d/h PT Aserra Sejahtera Investama (AMI). Proses pengambilalihan paksa CLM didahului proses legal berupa Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB) senilai US$28,5 juta yang baru dibayarkan US$2juta oleh grup Aserra, dilanjutkan dengan pertarungan hukum melalui RUPS dan peradilan umum, berakhir dengan eksekusi paksa di lapangan dengan bantuan kepolisian.
“Jadi, dengan modal kurang dari 10%, AMI mau take over CLM yang memiliki IUP legal tanpa ada itikad untuk membayar sisanya yang US$26,5 juta atau hampir setengah triliun rupiah,” ujar Sugeng. Thomas Azali, Direktur APMR dan salah satu pemilik saham CLM, menyebut, AMI tetap tidak terlihat beritikad melunasi kekurangan bayar US$26,5 juta itu, walau telah diberikan waktu perpanjangan di tahun 2019.
“Ketika kami ingin mundur untuk mencari pembeli lain, mereka tidak terima. Jadi, dengan DP (down payment) US$2 juta, kami digantung seumur hidup,” ujarnya. Belakangan Thomas dkk mengetahui dari berbagai pemberitaan bahwa ketika itu PT Apexindo Duta Pratama Tbk (APEX), holding Aserra Group, ternyata tengah mengalami masalah keuangan berat hingga nyaris dipailitkan oleh para krediturnya.
“Artinya, saat menandatangani PJBB itu sebenarnya mereka sudah tidak punya uang, tapi tetap ngotot karena ingin mencaplok perusahaan kami,” ujarnya.
Menurut Sugeng, kalau penegak hukum memang memiliki political will, soal hukum antara CLM dengan AMI yang sudah berjalan 4 tahun sebenarnya bukan masalah rumit. Pihak berwenang tinggal menilai dari status PJBB senilai US$28,5 yang baru dibayarkan sebesar US$2juta. ”Itu kan masalah sederhana, ada utang US$26,5 juga yang belum dibayarkan,” ujarnya.
IPW mencatat, dalam berbagai kasus mafia pertambangan di Indonesia adalah keberpihakan polisi. Padahal, sebagai aparatur negara, mereka semestinya bersikap netral. Ketika polisi berpihak pada salah satu pihak, menurut dia, ada kecenderungan pihak lawan akan ‘dibabat’ dengan mekanisme hukum pidana atau yang biasa disebut kriminalisasi.
Selain kasus ini, IPW memaparkan kasus serupa juga terjadi pada perusahaan batubara PT Rantau Utama Bhakti Sumatera (RUBS) yang masih bergulir sampai sekarang. Kasus ini menyangkut Hanifah Husein, istri mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, almarhum Ferry Mursyidan Baldan. Menurut Sugeng, sebagai investor yang memberikan pinjaman modal untuk pengelolaan perusahaan tambang, Hanifah dan dua petinggi RUBS lainnya justru dilaporkan dan dijadikan tersangka dengan tuduhan penggelapan saham, sementara uangnya tidak kembali.
“Ini contoh kriminalisasi yang umum terjadi. Mafia tambang menggunakan kekuatan dan menjual pengaruh (trading influence) orang-orang yang punya afiliasi dengan pihak berwenang. Orang-orang yang terlibat dalam sengketa biasanya merangkul orang yang punya kewenangan hukum, kekuasaan bahkan politik,” tuturnya.●(Zian)