Diperkirakan sudah punah. Tapi beberapa kali penampakan mereka ibarat puzzle. Dan itu mesti dijawab lewat sebuah penelitian empirik yang serius.
Melansir dari kanal liputan6.com, pada tahun 2014 lalu, seorang warga Aceh mengaku pernah berinteraksi dengan salah seorang dari Suku Mante (Mantir). Orang itu Fauzan Adhim. Dia melihat langsung keberadaan mereka. Dia bahkan sempat ditunjukkan arah jalan saat tersesat di hutan. Fauzan juga pernah menemukan jasad yang diduga orang Mante berjenis kelamin perempuan. Di bagian tangannya terdapat luka tusuk akibat terkena jebakan badak.
Tiga tahun berselang, Maret 2017, sekelompok pemotor di Aceh tidak sengaja melihat sesosok kerdil yang diduga suku Mante. Si kerdil sempat terkejut dan lari sangat kencang. Adegan ini sempat terekam oleh salah satu pemotor dalam kelompok tersebut. Rekaman tersebut dipublikasikan di Youtube, yang secara cepat menjadi perbincangan di dunia maya.
Benarkah mereka ada? Tidak mustahil. Khusaini Ibrahim, arkeolog dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, menyebut mereka awalnya mendiami kawasan Aceh Besar, di Kampung Seumileuh atau Kampung Rumoh Dua Blaih. Dugaan lainnya, mereka berasal dari belantara hutan Jantho. Selebihnya diperkirakan tersebar di sejumlah belantara hutan-hutan Aceh, seperti di Kecamatan Tangse dan Geumpang di Kabupaten Pidie.
Ukuran tubuh manusia suku Mante diperkirakan sekitar 60 cm hingga 1 meter, dengan postur sedikit bungkuk. Telapak kaki yang lebih lebar pada ujung jarinya. Tubuhnya yang mungil ini memungkinkan mereka untuk berlari dengan kencang dan lincah. Sehingga, sulit untuk mendekati sosok kerdil ini. Suku Mante berjenis kelamin perempuan biasanya memiliki bulu halus yang hampir menutupi seluruh badan. Para prianya tidak memiliki bulu halus. Berbeda dengan orang Aceh modern yang perawakannya terbentuk karena hasil interaksi dengan suku bangsa Arab, Eropa, Hindia, dan Cina.
Kelompok manusia ini diduga sebagai orang asli Aceh, yang telah mendiami wilayah ujung utara Pulau Sumatera sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi mengatakan, telah ada jauh sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul De Atjehers, mencatat, suku Mante tergolong sebagai etnis Melayu Proto, salah satu pembentuk etnis Aceh.
Suku Mante bersifat nomaden, hidup berpindah-pindah di sepanjang hutan tropis Aceh. Ini pilihan agar mereka mudah mengeksploitasi berbagai sumber daya alam. Tempat yang sering dipilih sebagai permukiman adalah gua. Antaranya Gua Beye, Jambur Atang, Jambur Ketibung, Jambur Ratu, dan Jambur Simpang. Gua memberi perlindungan dan keamanan dari ancaman hewan liar dan cuaca buruk.
Suku Mante memilih tempat yang tak mudah dijangkau umum. Cenderung menghindari manusia di luar kelompok dan tidak suka berinteraksi dengan orang asing. Mungkin itu cara mereka menjaga diri, budaya dan adat istiadat. Untuk bertahan hidup, mereka pemburu yang andal. Mereka ahli melacak dan berburu binatang liar seperti babi hutan, rusa dan berbagai jenis burung.
Sejauh ini, belum banyak studi dan literatur yang membahas dengan detail mengenai suku Mante. Beberapa ahli berpendapat Mante adalah bagian dari sejarah kuno Nusantara, keturunan dari kelompok manusia purba penghuni wilayah ini. Teori ini disadarkan pada artefak-artefak yang ditemukan di beberapa situs arkeologi, seperti lukisan gua yang menggambarkan sosok-sosok manusia kerdil, dan alat-alat batu yang diduga digunakan oleh Mante.
Bersama suku-suku asli lainnya, seperti Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, dan Semang, suku Mante merupakan etnik-etnik pembentuk suku Aceh yang ada sekarang. Suku Mantir ini ditengarai masih berhubungan erat dengan suku regional lainnya di Nusantara, seperti suku Alas, suku Gayo, dan suku Batak.
Peneliti lain mendekati misteri Mante dari sudut pandang genetika. Mereka menganalisis DNA dari beberapa suku asli di Sumatera, berharap menemukan jejak-jejak genetik yang terkait dengan Mante. Namun, hingga saat ini belum ada hasil yang berarti.
Peneliti lain mencoba mencari Mante melalui pendekatan etnografi. Masyarakat lokal diwawancarai, cerita-cerita rakyat dikumpulkan, tradisi lisan yang mungkin terkait dicatat. Namun, informasi jenis ini seringkali bersifat subyektif dan sulit diverifikasi.
Salah satu faktor sulitnya melacak keberadaan Suku Mante karena mereka tidak pernah mengikuti jejak satwa yang berada di hutan. Otomatis, tidak pernah terekam dalam kamera yang dipasang oleh balai atau aktivis lingkungan.
Jejak-jejak mereka samar, terhapus oleh waktu dan tertutup oleh rimbunnya dedaunan. Kisah-kisah tentang mereka bagai serpihan-serpihan kenangan yang terlupakan, hanya tersisa dalam catatan usang dari abad ke-18. Konon, sepasang Mante pernah dibawa ke hadapan sultan, namun mereka menolak makanan dan akhirnya menyerah pada kematian, meninggalkan misteri yang tak terpecahkan. Versi lain, mereka dihadapkan pada seorang raja lalu diminta memeluk agama Islam. Mereka menolak, raja pun membebaskan mereka.
Keheningan hutan menyimpan rahasia mereka. Hanya sesekali, seperti pada pertemuan dengan para pengendara sepeda motor itu, mereka memperlihatkan diri sejenak, sebelum kembali menghilang dalam pelukan belantara. Peristiwa itu memicu pencarian yang tak kenal lelah, sebuah ekspedisi untuk mengungkap kebenaran di balik legenda. Namun, jawabannya tetap tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, di antara kicau burung dan gemericik air.
Dunia Mante, jika memang ada, adalah dunia yang terhalang dari pandangan mata manusia. Dunia dimana waktu berjalan lambat, dimana alam menjadi raja diraja, dan manusia hanyalah tamu yang harus patuh-hormat pada aturan-aturan yang tak tertulis. Dunia dimana mitos dan kenyataan berpadu, menciptakan sebuah misteri yang tak akan pernah terpecahkan sepenuhnya.
Di atas segalanya, pertanyaan yang lebih penting mungkin bukan fatsal keberadaan mereka, melainkan bagaimana kita harus menyikapi mereka. Perlukah kita mengganggu kedamaian mereka atas nama rasa ingin tahu yang menggebu? Atau membiarkan mereka tetap tersembunyi, menjaga misteri mereka sebagai pengingat akan keajaiban alam yang tak terbatas. Penelitian, apa pun hasilnya, senantiasa memberi kontribusi yang berharga bagi pemahaman kita tentang sejarah, budaya, dan keanekaragaman hayati di tumpak tanah Nusantara.●(Zian)