JAKARTA—-Minyak bumi bukan lagi primadona untuk devisa Indonesia. Defisit migas selama 2018 mencapai 12,4 miliar dolar, meningkat dari 2017 sebesar 8, 57 miliar dollar. Defisit ini menurut anggota DPR RI komisi VII, Tjatur Sapto Edy merupakan yang terbesar selama 15 tahun.
“Susah saatnya perubahan paradigma. Minyak Bumi dan gas bukan lagi indikator keberhasilan devisa,” ujar Tjatur dalam diskusi media Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Kamis (21/3/2019) lalu.
Tjatur juga mengkritisi kelehaman pemerintah dalam data eksplorasi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempunyai dana Rp1,1 triliun, sebagian besar untukjaringan gas sebagai kensekuensi koversi minyak tanah ke gas.
“Anggaran untuk pengadaan data eksplorasi sangat kecil. Seharusnya setiap satu dollar investasi, sebanyak 50 persen diperuntukan menemukan ladang baru “ucap dia.
Sementara peneliti dari INDEF Berly Martawardaya pada kesempatan yang sama juga mengungkapkan sejak 2014, nilai investasi sektor hulu untuk produksi migas terus turun, dari US$12,25 miliar menjadi US$4,15 miliar pada 2018. Investasi eksplorasi lahan migas merosot dari US$2,61 miliar menjadi US$345 juta pada periode yang sama.
“Survei Minyak Bumi Internasional (Global Petroleum Survey) 2018 versi Fraser Institute, tingkat kemudahan investasi sektor hulu migas di Indonesia berada di urutan 10 terbawah dari 80 negara. Indeks Persepsi Kebijakan sektor hulu migas di Indonesia hanya memiliki skor 47,16, kalah dari Nigeria (53,15), Aljazair (57,73), Mozambik (57,92), dan negara-negara lainnya” papar Berly.
Menurut Berly INDEF investor tak tertarik menanamkan modal di sektor hulu migas karena kebijakan sektor migas di Indonesia tidak konsisten. Kontrak kerja sama produksi migas di Indonesia juga dianggap mudah berubah-ubah.
Skema Dua Kaki
Untuk itu staf pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) UI ini merekomendasikan Indonesia menganut skema “dua kaki” dalam mengelola sektor migas. Dalam skema itu, regulator dan pelaku bisnis migas disatukan dalam satu BadanUsaha Khusus atau Nation Oil Company.
“Modelnya seperti Pertamina awal Orde baru atau Petronas di Malaysia,” papar dia.
Skema ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Angola, Kazakhstan, Malaysia, dan Arab Saudi. Berly menungkapkan negara-negara yang memiliki cadangan minyak terbukti dalam rentang 3,3 juta-3,6 juta barel menerapkan skema dua kaki untuk mengelola migas.
Skema dua kaki dalam mengelola sektor migas cocok diterapkan karena Indonesia masih masuk kategori negara berkembang. Jika terlalu banyak kementerian atau lembaga yang mengelola sektor migas, maka koordinasi tidak akan berjalan lancar di negara-negara seperti Indonesia.
“Badan Usaha Khusus ini bisa Pertamina atau pemerintah membentuk badan lain dan Pertaminan hanya menjadi BUMN biasa,”ujar Berly kepada Peluang.
Saat ini Inonesia menganut Skema Tiga Kaki dalam mengelola migas. Skema itu sebetulnya tidak pas dengan masih karakteristik Indonesia saat ini, Koordinasi masih sulit. Kalau negara yang sudah lebih maju dan lebih bagus sistemnya seperti Norwegia, Meksiko, mereka bisa dipecah tiga koordinasi sektor migasnya,
“Selain itu skema Indonesia saat ini banyak diterapkan negara-negara yang memiliki cadangan terbukti minyak di atas 4 juta barel ,” pungkas dia (van).