JAKARTA—Di tengah gempuran produk impor, Mesiyarti Munir bertekad melestarikan batik nuasantara. Bagi warga Ciracas, Jakarta Timur itu, batik itu tak lekang di makan waktu, baik motif dan modalnya.
Mesiyarti sejak SMA memang jatuh hati pada dunia fesyen. Bagi dia fesyen itu tetap akan selalu jadi tren dengan adanya sosial media ini membuat orang ingin tampil cantik dan menarik
Segmen Batik Meysa Manar, brandnya menyasar kalangan menengah ke atas karena menggunakan bahan batik viscose premium. Batik ini kreasi Mesiyarti sendiri dengan ciri khas colorfull, cheerfull, dan renda. Brand ini diperkuat tiga karyawan untuk jahit dan satu untuk admin.
“Saya mulai usaha pada 2013 dengan lokasi butik di Jalan Jambore Raya Cibubur, lalu berhenti dan mulai lagi pada 2018-2019 dengan pemasaran di bazaar di kantor-kantor dan pada 2020 menggunakan market place dan media sosial.,” ujar Mesiyarti pada Peluang, Rabu (16/12/20).
Sambutan pandemi, perempuan yang juga menjadi dosen sebuah perguruan tinggi ini mampu meraup omzet bersih per bulan Rp25 juta. Sayangnya sesudah pandemi omzet hanya sekitar Rp7 juta, karena mengeluarkan biaya yang lebih besar.
Sebelum pandemi hanya membayar sewa booth di mal, sementara sesudah pandemi ini biaya photoshoot, iklan dan katalog. Dampak pandemi cukup besar bagi dunia usaha karena sebelumnya dia kurang mengenal foto katalog dan iklan instagram.
“Sekarang saya harus menggunakan itu semua. Menghabiskan budget Rp3 juta per bulan utk photoshoot produk , hampir Rp5 juta per bulan untuk endorse dan Rp 2 juta per bulan untuk iklan instagram,” ungkap dia.
Batik Mesya Manar sudah menjangkau pasar seluruh Indonesia hingga Malaysia dan Sydney Australia. Dia juga merasa terbantu dengan Jakpreneur, mulai pendampingan usaha, akses CSR, permodalan, kemudahan perizinan usaha.
“Ke depan, saya ingin berkembang dengan pangsa pasar yang lebih bagus, mempunya loyal customer, dan konveksi sendiri,” pungkasnya (Van).







