hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Merugi US$12,8 miliar ,Flybe di Ujung Tanduk

JELANG WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, dampak buruknya sudah dirasakan beberapa industri di dunia. Salah satunya adalah industri penerbangan. Salah satu maskapai penerbangan terbesar di Inggris, Flybe, jatuh bangkrut akibat semua penerbangannya macet karena virus corona. Dalam situs webnya, Flybe yang memiliki 2.000 karyawan menyatakan telah memasuki proses administratif dan gagal mengatur penerbangan alternatif untuk para penumpang.

“Semua penerbangan telah dibatalkan dan bisnis Inggris telah menghentikan perdagangan dengan efek langsung,” kata maskapai itu. Sebelumnya, Flybe sempat selamat dari kehancuran, pada Januari lalu. Perusahaan memperoleh pembebasan pajak oleh pemerintah Inggris. Namun, Flybe gagal memulihkan peruntungan akibat melemahnya permintaan bersamaan dengan tingkat persaingan yang kian ketat.

Pengumuman itu keluar beberapa jam setelah Inggris melaporkan kemungkinan bangkrutnya maskapai itu. Pasalnya, Flybe gagal mendapatkan pinjaman negara sebesar £100 juta (Rp1,8 triliun) untuk membantu menstabilkan bisnis. Selain Flybe, sebelumnya berbagai maskapai penerbangan di kawasan Asia-Pasifik diprediksi akan kehilangan pendapatan sekitar US$27,8 miliar/Rp378 triliun (asumsi kurs Rp13.600/US$) karena menurunnya permintaan penerbangan. Sebagian besar kerugian akan dirasakan oleh perusahaan penerbangan di Cina. Menurut The International Air Transport Association (IATA), dalam perkiraan yang dirilis di New York, Cina merugi US$12,8 miliar (Rp174 triliun) hanya untuk pasar domestik. Di sisi lain, perusahaan penerbangan Cina memang sudah memangkas 80% dari kapasitas penerbangan domestik dan internasional pada minggu ini. Bahkan, menurut perusahaan data penerbangan OAG, permintaan penerbangan mereka terjun bebas saat virus corona muncul.●

pasang iklan di sini