
Peluang News, Jakarta – Keputusan pemerintah yang mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mengelola pertambangan menimbulkan pro dan kontra.
Ormas PP Muhammadiyah dan PBNU mendukung hal tersebut, tapi Konferensi Wali Gereja (KWI) menolaknya.
Izin mengelola penambangan oleh ormas keagamaan ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2024 tentang Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara. Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, usaha pertambangan ormas keagamaan akan dikerjakan oleh kontraktor.
Pihaknya, kata dia, tengah mencari formulasi supaya kontraktor yang mengerjakan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) itu memiliki kapabilitas tinggi dan tidak mempunyai konflik kepentingan.
“Nanti kami cari formulasi kontraktor yang mengerjakan itu adalah kontraktor yang betul-betul profesional,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (7/6/2024).
Dia mengutarakan bahwa izin itu hanya diberikan kepada ormas yang memiliki badan usaha, serta ditujukan di bekas wilayah izin usaha pertambangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (WIUP PKP2B).
Ormas yang sudah menerima IUPK, lanjut Bahlil, tidak bisa memberikan izin tambang itu ke pihak lain. Hal ini sebagai upaya mencegah timbulnya kerugian negara.
“Pemerintah setelah IUP ini, kami berikan kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan maka kami carikan partner, di mana IUP ini tidak dapat dipindahtangankan.
Ini sangat ketat, tidak gampang sebab IUP ini dipegang oleh koperasi organisasi kemasyarakatan itu, dan tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk apapun,” tutur dia.
Bahlil mengemukakan, regulasi terkait pemberian izin ini sudah melalui tahapan yang komprehensif, mulai dari kajian akademisi hingga mendapatkan persetujuan dari setiap kementerian/lembaga teknis.
“Proses pembuatan PP ini sudah lewat mekanisme kajian akademis dan diskusi yang mendalam antara kementerian/lembaga yang juga dibawa ke dalam rapat terbatas yang dihadiri oleh menteri-menteri yang dipimpin oleh Bapak Presiden,” katanya.
Presiden Joko Widodo pada Kamis (30/5) telah meneken PP No. 25/2024 tentang perubahan atas PP 96/2021 soal pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Pasal 83A PP 25/2024 menyebutkan bahwa regulasi baru itu mengizinkan ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah bisa mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK).
Sementara itu, Konferensi Wali Gereja (KWI) sebagai wakil resmi gereja Katolik di Indonesia, menolak privilese mengelola tambang yang diberikan Presiden Jokowi kepada ormas keagamaan.
Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migrant, dan Perantau serta Keutuhan Ciptaan KWI, Marthen Jenarut menegaskan, gereja Katolik selalu mendorong tata kelola pembangunan sesuai prinsip berkelanjutan.
KWI mengekspresikan kekhawatiran mendalam terhadap konsekuensi moral dan lingkungan dari kebijakan itu. KWI mengajak untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap keberlangsungan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang rentan.
Hal senada diungkapkan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan ini.
“Kami tidak mau independensi PMKRI sebagai organisasi kemahasiswaan, pembinaan dan perjuangan terkooptasi dengan kepentingan usaha tambang. Berbagai persoalan yang diakibatkan oleh operasi industri pertambangan akan terus kami sikapi dan kritisi,” kata Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Natalia Urada, dalam keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024). []