PERNYATAAN Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki usai Kick Off Program Pendampingan Mikro Mandiri 2023 di Kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Jumat (19/5/2023), yang menyatakan mayoritas UMKM Indonesia berkutat di bidang kuliner, itupun hanya menjual keripik, seblak, atau kerajinan menuai kritik dari warga masyarakat.
Diantaranya dari kalangan Asosiasi Profesi Perkoperasian Indonesia. Neddy Rafinaldy, misalnya, mantan deputi di Kemenkop dan UKM ini menilai Menteri Teten belum memahami UMKM sehingga sulit mengangkat UMKM naik kelas.
“Itulah kalau menterinya memahami untuk UMKM hanya sekedar dagang recehan dan asongan, pasti gak mampu mengangkat UMKM naik kelas,” ucap Neddy, pada Minggu (21/5/2023)
Sementara dimata Akhmad Djunaidi, penulis buku Manajemen Usaha Koperasi dengan Model Multi Pihak, pernyataan Menteri Teten terlalu menganggap remeh UMKM kuliner yang bergerak di bidang itu-itu saja selama bertahun-tahun. Seperti disebutkan Teten, yakni keripik, bakso, nasi goreng, dodol dan kerajinan.
“Rada-rada bagaimana ya, meski berjualan keripik atau krupuk mereka bagian dari job creator lebih dar 99 %. Seharusnya pemerintah (Menkop dan UKM) kasih lah affirmative action. Contohnya, tambang-tambang emas rakyat itu (saat ini) banyak yang dikerjakan UMKM. Kebun-kebun sawit milik rakyat mbok (seharusnya) petani dikasiih kesempatan memiliki pabriknya,” ujar Akhmad Djunaidi yang aktif sebagai peneliti ahli utama pada Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan ini.
Di sisi lain, aktivis perkoperasian, Anang menyebut pernyataan Menteri Teten tersebut sebagai sinyal dia menyerah mengurusi lembaga kementerian. Seharusnya Menteri Teten berterima kasih kepada pelaku UMKM yang memberi kontribusi pada ekonomi nasional.
“Meski jualan keripik, mereka menjadi tulang punggung keluarga dan bekerja denga halal. Coba bayangkan kalau mereka bekerja di pabrik yang omsetnya besar tapi mereka (pekerja) hanya dapat upah minimun,” ujar Anang.
Jangan salah, lanjut Anang, yang kelihatannya recehan itu justru tidak membebani negara. Pendapatan mereka harian paling rendah Rp250.000 (di wilayah padat penduduk). Malah ada yang sampai Rp1 juta/hari. Margin bersih 30% kalau sudah dipotong biaya operasional dan gaji. Kotor bisa sampai 50%.
“Kenapa jumlahnya banyak, karena usaha kuliner itu paling mudah dikerjakan dan modalnya murah. Harusnya yang seperti ini dirangkul, diagregasi, dijadikan anggota koperasi,” ujarnya.
Mereka ini, ungkap Anang, yang tahan banting, bukan orang-orang yang suka ikut acara di dinas. Mereka tidak tersentuh program, kadang juga tidak aktif di sosmed. Bertemannya dengan rentenir dan sesama pedagang kaki lima (PKL) makanan.
“Kami sudah dua tahun ini dipertemukan dengan mereka di Kabupaten Bandung. Sebagian sudah ikut program dana bergulir dengan bunga 0% dari bupati. Sebagian sudah mulai dapat program pendampingan. Mereka menunggu program pak MenKop, mau bawa mereka kemana,” bebernya.
Terkait pelaku UMKM Indonesia yang diklaim sebanyak 64 juta entitas ini, menarik apa yang disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam chanel youtube Raymond Chin. Pertanyaannya apa benar jumlah pelaku UMKM ada 64 juta itu.
Menurut Sandiaga, 64 juta UMKM yang ada di Indonesia 99% ada di level mikro dan sub micro. Sementara UMKM level micro itu tidak dianggap sebagai interpreneur tetapi hanya sebagai pekerja informal. Dianggap sebagai interpreneur jika berada minimal di level kecil.
Diharapkan untuk mencapai Indonesia emas di 2045 dari 64 juta UMKM akan menurun karena terjadi perubahan dari level mikro dan submicro menjadi level kecil. Ini tantangan Kementerian Koperasi dan UKM yang saat ini dikomandoi Teten Masduki, mampukah? atau naik kelas UMKM Indonesia cuma jadi wacana.
Baca Juga: Menteri Teten Sebut Produk UMKM Stagnan Puluhan Tahun Bikin Keripik
Jangan Lepas Tangan
Sementara itu, pengamat koperasi dan UKM, Dewi Tenty Septi Artiany menilai pernyataan Mentri Teten soal UKM Indonesia stagnan hanya produksi keripik memperlihatkan ketidakpahaman atas masalah pelaku usaha di tanah air. Juga tidak pro produk dalam negeri
Merujuk pada perubahan platform Kementerian Koperasi dan UKM, lanjut Dewi Tenty, bermula dari Keputusan Presiden Nomor : 96 Tahun 1993, tentang Kabinet Pembangunan VI dan Keppres Nomor 58 Tahun 1993, telah terjadi perubahan nama Departemen Koperasi menjadi Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Tugas Departemen Koperasi menjadi bertambah dengan membina Pengusaha Kecil.
Hal tersebut merupakan perubahan yang strategis dan mendasar, karena secara fundamental golongan ekonomi kecil sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan harus ditangani secara mendasar, mengingat bidang perekonomian tidak terbatas hanya pada pembinaan perkoperasian saja.
“Jadi dari awal sudah disebutkan bahwa tugas kememtrian adalah untuk membina pengusaha kecil,” ucap Dewi Tenty.
Seiring berjalannya waktu, ungkapnya, kemudian muncul akronim baru yaitu UMKM yang membagi segmen pengusaha kecil dengan irisan mikro, kecil dan menengah. Menurut data jumlah UMKM di Indonesia saat ini sekitar 64 juta unit. Dari jumlah itu pengusaha mikro sebanyak 59,2 juta pelaku. Suatu jumlah yang luar biasa yang bisa diambil sebagai prestasi bagi mentri koperasi dan UKM apabila ini di anggap sebagai tantangan.
“Tapi ini akan dianggap sebagai suatu “gulma” apabila tidak direspon positip Ibarat eceng gondok, menjadi gulma apabila tidak di berdaya gunakan tetapi setelah dimanfaatkan ternyata dapat menambah pendapatan bagi perekonomian nasional,” ucapnya
“Dengan komentar pak mentri ini juga bicara tentang sudut pandang, dengan banyaknya pelaku mikro yang bergerak di bidang kuliner (khususnya keripik) harusnya dianggap sebagai tantangan bagaimana ini menjadi sentra produksi untuk menembus pasar global,” tambah Dewi Tenty
Dewi heran dengan pernyataan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang seolah menyesalkan bahwa UKM Indonesia hanya mampu bikin keripik, dodol dan kuliner camilan lainnya. Coba bandingkan dengan produk keripik yang sudah mendunia seperti leys, chitatos, piatos dll yang sengaja diimport untuk camilan, kenapa Menteri Teten ribut dengan kripik produksi UMKM sendiri.
“Apakah pak mentri lebih senang dengan pengusaha mikro alih fungsi membuat elektronik atau otomotif untuk menjaga gengsi, sementara pasar keripik yang sangat besar di dalam negeri kita biarkan direbut oleh produk asing,?” ujar Dewi heran. (Ajie)