Peluangnews, Jakarta – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mencatat sampai Juli 2023 (ytd), penerimaan negara untuk pajak sebesar Rp1.109,1 triliun, atau telah terkumpul 64,56% dari target APBN 2023.
Untuk pajak nonmigas (PPh nonmigas) sebesar Rp636,5 triliun atau 72,8% dari target, masih tumbuh 6,9%.
PPN dan PPnBM tercatat Rp417,6 triliun atau 56,2% dari target tahun 2023, tumbuh 10,6%. Untuk PBB dan Pajak lainnya tercatat Rp 9,6 triliun, naik 44,7 persen dari tahun 2023. Tapi kontribusi PBB relatif kecil dibandingkan total penerimaan pajak.
Di sisi lain, pajak PPh Migas mengalami penurunan seiring dengan penurunan harga komoditas, yang yang terkumpul Rp45,3 triliun atau turun 7,99% dari tahun 2023. Meski kalau dari sisi total, nominal ini telah terkumpul 74,74% dari target tahun 2023.
Pertumbuhan tahun ini dari penerimaan pajak adalah sebesar 7,8% hingga Juli 2023. Pertumbuhannya relatif rendah dibandingkan tahun 2023, dimana penerimaan pajak tumbuh tinggi di 58,8%.
“Beberapa faktornya yaitu harga komoditas mengalami normalisasi, lalu pertumbuhan ekonomi dunia yang terlambat mempengaruhi kinerja beberapa aktivitas ekonomi seperti ekspor dan juga berbagai aktivitas dalam negeri,” kata Sri Mulyani pada Konferensi Pers APBN Kita, di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Sehingga pertumbuhan penerimaan pajak diperkirakan tidak setinggi tahun 2022, namun masih tumbuh positif.
“Kita tetap harus waspada karena secara bulanan (mtm), penerimaan pajak di bulan Juni dan Juli mengalami pertumbuhan bulanan negatif. Ini adalah koreksi untuk menuju normalisasi,”
Pertumbuhan berdasarkan jenis pajak, menggambarkan bagaimana kegiatan ekonomi yang membaik, namun masih harus diwaspadai.
Pajak penghasilan karyawan PPh21 masih tumbuh cukup tinggi di 18,1%. Artinya kegiatan yang menyerap tenaga kerja masih menunjukkan adanya peningkatan, terutama dari industri pengolahan yang pertumbuhan PPh21nya sebesar 17,5%, disusul oleh jasa keuangan dan asuransi 16,7% dan perdagangan tumbuh 17,7%.
“Ini hal yang positif terhadap sektornya maupun karyawan yang bekerja di sektor tersebut,” kata Sri Mulyani.
Berdasarkan wilayah, PPh21 terbesar tumbuh di DKI Jakarta 17,7%, Jawa Barat 15,7%, Jawa Timur 16,8%. Ini menunjukkan untuk kegiatan ekonomi yang tercermin dari kegiatan industrinya dan refleksi atau tercermin dari upah dan gaji karyawan.
“Dan menunjukkan adanya pertumbuhan yang positif,” kata Sri Mulyani.
Namun yang perlu diwaspadai yaitu perubahan dari momentum kegiatan ekonomi adalah kegiatan PPh22 impor dan PPN impor. PPh22 impor tercatat kontraksi sebesar -4,2%.
Nilai impor barang konsumsi dan barang modal yang masih mengalami kenaikan. Sehingga di satu sisi harga komoditas menurun, dan nilai impornya turun. Di sisi lain untuk barang konsumsi dan modal naik.
PPH final mengalami kontraksi sebesar -44%, karena tahun lalu Indonesia melakukan program yang tidak berulang yaitu program pengungkapan sukarela atau tax amnesty yang kedua. Sehingga karena tidak terulang tahun ini tidak terjadi pendapatan dari kegiatan tersebut.
PPh badan masih tumbuh positif di 24,2%. Jenis pajak ini berkontribusi paling besar terhadap penerimaan pajak. Namun kalau dibandingkan tahun 2022, mengalami moderasi pertumbuhan yang melonjak 132,4%.
“Ini artinya kita harus mengantisipasi bahwa perusahaan-perusahaan sudah makin melihat profitabilitas mereka, sudah mulai ternormalisasi atau tidak mengalami lonjakan, terutama mereka yang bergerak di bidang komoditas,” kata Sri Mulyani.
Sedangkan PPN dalam negeri yang berkontribusi 22,9% terhadap total penerimaan pajak, hanya tumbuh 17,6% dibandingkan tahun lalu 44,3%.
PPN dalam negeri yang lebih rendah ini karena konsumsi rumah tangga di satu sisi tumbuh di 5,23% memberi dampak terhadap PPN dan juga belanja pemerintah yang tumbuh 10,62% memberikan juga dampak terhadap momentum PPN dalam negeri.
Untuk penerimaan sektoral ini, distribusi sektor yang aktivitas ekonominya terpengaruh baik karena faktor luar negeri maupun momentum pemulihan ekonomi dalam negeri.
Penerimaan pajak dari industri pengolahan tumbuh 6,1%, dibandingkan tahun lalu yang 52,3%. Begitu pula dari sektor perdagangan yang tumbuh 6,2% dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 72,5%.
“Dua sektor ini mempengaruhi penerimaan pajak terbesar yaitu kontribusinya masing-masing 27,6% dan 23,4%, mereka tumbuh jauh lebih rendah dari tahun lalu. Dua sektor ini memang terlihat lebih moderat atau melambat dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang sangat kuat,” kata Sri Mulyani.
Sektor yang tahun ini tumbuh lebih kuat dari tahun lalu adalah sektor jasa keuangan 26,1% pertumbuhannya sampai Juli 2023, dibandingkan tahun lalu yang sebesar 15,1%. Ini hal yang bagus karena sektor keuangan memberikan kontribusi 12,2% terhadap total penerimaan pajak.
Penerimaan pajak dari sektor pertambangan masih tumbuh positif 44%. Namun ini juga terkoreksi yang cukup tajam dibandingkan tahun lalu yang melonjak tumbuh 263,7%. Ini seiring dengan moderasi harga komoditas menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tinggi itu tidak akan terus-menerus terjadi.
Sektor transportasi pergudangan pulih penerimaan pajaknya tumbuh 41,3% dari tahun lalubdi 18,3%. Penerimaan pajak sektor koonstruksi dan real estat tumbuh 14,6% naik dari tahun lalu 10,8%.
“Diharapkan ini akan terus meningkat dengan kegiatan bangunan dengan baik untuk real estat rumah pribadi maupun konstruksi yang lain,” kata Sri Mulyani.
Penerimaan pajak sektor informasi dan komunikasi juga masih tumbuh 13,8% meski melambat dari 15,3 % tahun lalu. Ini juga sejalan dengan kegiatan di informasi dan komunikasi yang tetap terjaga.
“Jadi kita lihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang merefleksikan tadi per sektoral juga terlihat dari sistem perpajakan kita,” kata Sri Mulyani. (Aji)