Opini  

Menimbang (Lagi) Peran KUD: Cermin dari Sejarah yang Terlupakan

Menimbang (Lagi) Peran KUD: Cermin dari Sejarah yang Terlupakan
dok.Peluangnews
Menimbang (Lagi) Peran KUD: Cermin dari Sejarah yang Terlupakan

Oleh: Irsyad Muchtar

Mereka yang tidak bisa mengingat sejarah masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.
George Santayana (1863–1952)

Bayangkan jika promosi kepangkatan pejabat negara hanya ditakar dari keberhasilannya mengembangkan koperasi di desa. Terlihat ideal, bahkan relevan dengan semangat pemerataan ekonomi melalui koperasi sebagai sokoguru perekonomian rakyat. Namun, sejarah mencatat bahwa koperasi pernah menjadi alat politik yang sarat manipulasi, bukan sekadar sarana ekonomi.

Di era Sukarno, koperasi dijadikan salah satu instrumen machtsvorming—pembentukan kekuatan politik. Ia bukan semata-mata alat pemberdayaan ekonomi, melainkan menjadi senjata politik revolusioner yang ampuh. Dalam waktu singkat, jumlah koperasi melonjak dari sekitar 16 ribu unit pada 1959 menjadi 70 ribu unit pada 1965. Lonjakan ini tak lepas dari keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang giat membentuk koperasi di desa-desa. Petani cukup diberi cangkul gratis untuk kemudian didaftarkan sebagai anggota koperasi—dan sekaligus, anggota PKI—tanpa benar-benar memahami apa itu partai atau koperasi.

Itulah lembar kelam koperasi kita: saat identitasnya dilekatkan pada kepentingan politik sempit. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Orde Baru, pembersihan besar-besaran pun dilakukan. Jumlah koperasi yang mencapai 73.400 unit dengan 11,7 juta anggota pada 1966, dipangkas drastis menjadi hanya 14.700 unit dengan 3,5 juta anggota.

Meski begitu, koperasi tetap dianggap penting sebagai alat pemerataan ekonomi yang dijamin konstitusi. Di awal kekuasaannya, Presiden Soeharto mencanangkan Pelita I (Pembangunan Lima Tahun I) dengan fokus utama pada sektor pertanian. Pemerintah menggandeng Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk merancang konsep pengembangan ekonomi desa, yang melahirkan BUUD (Badan Usaha Unit Desa). Konsep ini kemudian dimodifikasi dan diresmikan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) pada 1973.

Namun, yang lahir dari pemikiran akademik strategis justru dibelokkan dalam implementasinya. Masifikasi pendirian KUD disertai sistem reward and punishment untuk pejabat lokal, yang bertentangan dengan prinsip koperasi: sukarela, demokratis, dan partisipatif.

Selama lebih dari dua dekade, KUD justru terjebak dalam praktik birokratis populis. KUD tidak pernah disiapkan sebagai alat ekonomi mandiri. Alih-alih membangun akses pasar atau memberdayakan anggota, KUD dijejali kredit program yang bergantung pada subsidi pemerintah. Begitu kran subsidi ditutup pasca-reformasi 1998, satu per satu KUD ambruk—menjadi bangunan keropos, tinggal papan nama.

Menimbang (Lagi) Peran KUD

Ironisnya, elite politik kita masih kerap menyebut koperasi sebagai bentuk usaha yang sesuai dengan semangat bangsa. Padahal, seperti yang pernah dikatakan almarhum Soedjatmoko, koperasi di Indonesia akan menemui jalan buntu jika tidak dibarengi dengan sosialisasi nilai dan pembentukan kesadaran sosial secara intens. Dalam masyarakat yang masih sarat patron-klien, feodalisme baru, dan ketergantungan struktural pada negara, koperasi kehilangan fungsi transformatifnya—tereduksi hanya sebagai formalitas kelembagaan.

Kini saatnya kita bertanya: akankah KUD bangkit sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sejati, atau terus menjadi artefak sejarah yang terlupakan? (#)

*) Pimpinan Redaksi Majalah Peluang & Peluangnews.id

Exit mobile version