Pemulihan ekonomi bakal dihadapkan pada tantangan kesenjangan yang semakin lebar dan ketersediaan lapangan kerja. Pada sisi lain, anggaran perlindungan sosial justru diturunkan.
Pengendalian risiko kesehatan pandemi COVID-19 yang semakin baik dan perekonomian global yang mulai pulih merupakan faktor pendorong optimisme perekonomian domestik pada 2022. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% atau lebih tinggi dibanding proyeksi pertumbuhan 2021 di kisaran 3,8%.
Dalam UU APBN 2022, Pemerintah mengklaim asumsi pertumbuhan ekonomi tersebut telah mempertimbangkan potensi dan risiko yang berasal dari sisi eksternal antara lain, pemulihan ekonomi global pascapandemi COVID-19 di seluruh dunia, risiko ketegangan geopolitik, fluktuasi harga komoditas, serta risiko sektor keuangan yang dapat berpengaruh terhadap likuiditas global dan tingkat investasi.
Senada dengan pemerintah, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2022 akan lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. “Ekonomi sudah pulih pada 2022, insya Allah pertumbuhan akan lebih tinggi mencapai 4,7% hingga 5,5%,” ujar Perry Warjiyo, Gubernur BI dalam Pertemuan Tahunan BI akhir November lalu.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 itu sejalan dengan prediksi dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. IMF memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,9% dan Bank Dunia sebesar 5%. Sikap optimisme tersebut merupakan angin segar untuk menumbuhkan harapan kehidupan yang lebih baik.
Namun demikian, menurut pengamat ekonomi Awalil Rizky, ekonomi pada tahun ini sebenarnya belum bisa dikatakan pulih. “Jika acuannya angka pertumbuhan riil, maka sebenarnya andaikan target pertumbuhan sebesar 5,2% tercapai maka belum bisa disebut pulih,” ujar Awalil dalam analisisnya di Barisan.co.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi dinyatakan dengan produk domestik bruto (PDB) menurut harga konstan yang mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun.
Pada 2020, PDB terkontraksi sebesar -2,07% sehingga PDB riilnya sebesar Rp10.722 triliun. Jika diasumsikan PDB 2021 tumbuh sebesar 3,80% maka PDB riilnya senilai Rp11.129 triliun. Sementara target APBN 2022 ekonomi tumbuh sebesar 5,2%, sehingga PDB riil nya akan mencapai Rp11.708 triliun.
Dengan memakai rata-rata tumbuh 5% saja, kata Awalil, maka perhitungan PDB riil yang “pulih” adalah senilai Rp12.072 triliun (2021) dan Rp12.675 triliun (2022). Artinya, dalam konteks PDB riil sebenarnya ekonomi belum bisa disebut “pulih”.
Selain belum pulih jika diukur dari PDB riil, ekonomi pada 2022 juga dihadapkan pada tantangan kesenjangan yang semakin melebar. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan dengan skenario pesimistis bahwa tingkat kemiskinan pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81% atau setara dengan 29,3 juta penduduk miskin.
Hal tersebut dipicu dari melemahnya anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yang membuat semakin banyak penduduk miskin yang tidak terlindungi secara ekonomi.
“Ketika beban krisis membuncah dan pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, alokasi anggaran perlinsos justru semakin menurun,” kata Peneliti IDEAS bidang Ekonomi Makro, Askar Muhammad dalam keterangan tertulisnya.
Pada 2020, realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp216,6 triliun dan pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp184,5 triliun. Pada APBN 2022 nilainya turun lagi menjadi Rp154,8 triliun.
Padahal, perlindungan sosial berperan penting dalam menopang keluarga miskin yang terdampak keras pandemi. Sebelum pandemi yakni periode 2014-2020, pertumbuhan pengeluaran per kapita antar kelas ekonomi terlihat merata yang menandakan manfaat pertumbuhan dinikmati semua kelompok masyarakat.
Namun, pola tersebut berubah drastis pada masa pandemi, Maret – September 2020. Kelompok menengah banyak yang turun kelas seiring dengan merosotnya daya beli dan terkurasnya tabungan untuk menutup hidup.
Data OJK per September 2021, pangsa simpanan masyarakat di perbankan dengan tier nominal di atas Rp5 miliar meningkat dari 46,2% pada Desember 2019 menjadi 50,7%. Sementara, pangsa simpanan dengan tier nominal di bawah Rp100 juta menurun dari 14,5% menjadi 13,0%.
Secara keseluruhan, kecenderungan menabung yang semakin tinggi oleh si kaya ini akan membuat konsumsi agregat menurun sehingga melemahkan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi atau disebut paradox of thrift.
Berdasarkan hal tersebut, pemulihan ekonomi pasca pandemi secara ironis memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang semakin lebar yaitu si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin. Pola pemulihan yang umum dikenal dengan K-shape ini, terjadi karena pemulihan didominasi sektor tertentu yang hanya menguntungkan kelas atas.
Dengan K-shape recovery, IDEAS memproyeksikan pertumbuhan pengeluaran per kapita ke depan akan lebih didominasi kelas menengah-atas, sedangkan kelas menengah-bawah hanya akan tumbuh moderat – rendah.
Isu kesenjangan akibat pandemi bukan hanya persoalan domestic tetapi sudah mengglobal.
Data Bank Dunia memperkirakan akibat pandemi, pendapatan 97 juta orang kurang dari US$2 per hari atau dikelompokan sebagai orang miskin.
“Secara global, peningkatan kemiskinan yang terjadi akibat covid pada 2020 kemarin masih bertahan. Orang miskin akibat covid pada 2021 mencapai 97 juta orang,” kata Direktur Global Bank Dunia untuk Kemiskinan dan Kesetaraan Carolina Sánchez-Páramo seperti dikutip dari CNN.com.
Pandemi juga telah menyebabkan kemunduran bersejarah dalam perang melawan kemiskinan global. Pasalnya, pandemi telah membuat jumlah orang termiskin di dunia meningkat untuk pertama kalinya dalam lebih dari 20 tahun terakhir.
Sementara menurut lembaga riset World Inequality Lab, penduduk terkaya dunia mengalami lonjakan kekayaan terbesar sepanjang sejarah sejak mereka melakukan pencatatan sejak tahun 1995.
Nilai kekayaan bersih penduduk terkaya dunia meningkat lebih dari 3,6 triliun dollar AS atau sekitar Rp5.112 triliun (kurs Rp 14.200). Secara keseluruhan, porsi kekayaan para penduduk terkaya di dunia dalam kekayaan rumah tangga global meningkat 3,5%. Di saat bersamaan, pandemi telah membuat 100 juta penduduk di dunia jatuh dalam jurang kemiskinan. Menurut data proyeksi Bank Dunia yang dikutip oleh analis World Inequality Lab, jumlah penduduk sangat miskin di dunia per tahun 2021 meningkat menjadi 711 juta.
Persoalan kemiskinan erat kaitannya dengan ketersediaan lapangan kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis November 2021, menyebut bahwa per Agustus 2021, tingkat pengangguran terbuka sebanyak 9,1 juta orang. Jumlah ini hanya menurun sedikit dari periode sama 2020 sebabanyak 9,77 juta orang. Namun jika dibandingkan sebelum pandemi, yakni Agustus 2019 yang mencapai 7,1 juta orang, jumlah pengangguran terbuka pada 2021 itu meningkat tajam.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) atau persentase jumlah penganggur terbuka terhadap jumlah angkatan kerja meningkat, dari 5,28% pada Agustus 2019 menjadi 7,07% pada Agustus 2020 dan turun menjadi 6,49% pada Agustus 2021.
Dalam proyeksi IMF, TPT Indonesia akan sebesar 5,30% pada 2025 atau masih sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2019. Baru bisa mencapai 5,20% pada 2026. Sementara dalam APBN 2022 ditargetkan TPT pada kisaran 5,6% – 6,3% pada 2022. Tentu, kondisi itu masih jauh diatas ketika sebelum pandemi.
Mencermati data-data tersebut di atas, perekonomian 2022 memang akan tumbuh dibanding 2021 namun tetap menghadapi sejumlah pekerjaan rumah yang tidak ringan. Kesenjangan dan penyerapan lapangan kerja merupakan tantangan berat di tengah pertumbuhan tersebut. (Kur).