octa vaganza

Menguji Beleid Ahok di Kalijodo

Rencana penggusuran pusat hiburan esek-esek Kalijodo oleh Pemprov DKI Jakarta menyedot minat publik. Terlebih di sosial media. Disebut-sebut, kawasan tersebut bakal didapuk menjadi jalur hijau.

Niat membersihkan lokalisasi kelas teri itu tentu saja baik. Tapi, seperti terjadi di mana-mana, praktik penggusuran selalu diikuti pro dan kontra. Siapa yang pro? Mestinya siapa saja yang risi menyaksikan ‘kelestarian’ Kalijodo sebagai habitat bisnis maksiat. Siapa yang kontra? Pastinya pihak-pihak yang bakal jadi korban.

Isu penggusuran Kalijodo bukan kali ini muncul ke permukaan. Jauh sebelum kepemimpinan Zhang Wan Xie/Basuki Indra/Basuki Tjahaya Purnama/Ahok, wacana pembongkaran toh bergulir dari gubernur ke gubernur.

Faktanya, hingga detik ini, kawasan tersebut masih berfungsi seperti sedia kala. Berbeda dengan Dolly di Surabaya. Pusat prostitusi yang konon terbesar di Asia Tenggara itu kini jadi kawasan yang tanpa aroma zina. Dolly ‘dibersihkan’ oleh seorang walikota perempuan, Tri Rismaharini, tanpa melibatkan ‘partisipasi’ TNI-Polri segala.

Kalijodo menjadi surga para lelaki hidung belang ini memang tak pernah sepi. Transaksi ‘jasa’ primitif di sini boleh dibilang kagak ada matinye. Kalijodo memang bukan lokasi baru di dunia persundalan.

Nama itu kadung kondang semenjak zaman kolonial Belanda. Lalu—tak ada angin tak ada ribut—sekonyong-konyong Pemrov DKI Jakarta peduli. Pusat kegiatan dengan potensi bisnis miliaran rupiah per bulan itu direncanakan digusur.

Ada apa? Seriuskah hasrat Ahok membasmi prostitusi? Atau cuma lips service (carmuk/pencitraan) jelang Pilkada 2017-kah? Kapan giliran menebas sekian banyak tempat prostitusi terselubung kelas atas?

Wajar saja jika anggota DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana (Haji Lulung), angkat suara soal bisnis prostitusi besar di belahan Jakarta lainnya. Lulung menyebut Alexis dan Malioboro di bilangan Kota, Jakarta Utara—dua di antara sejumlah tempat pelacuran elit yang berkedok bisnis spa dan massage.

Anggota legislatif dengan basis massa yang kuat dari masyarakat Tenabang itu dengan sengit menantang, “Kenapa tidak ikut digusur, padahal keduanya buka izin sebagai griya sehat? Berani nggak Ahok itu ditertibkan!”

Saya memang bukan warga yang bermukim di Kalijodo. Jika penggusuran itu murni demi pembersihan tempat maksiat, banyak pihak niscaya setuju.

Alangkah indahnya jika Jakarta sebagai ibukota negara tak dinodai tempat maksiat legal ataupun liar, bukan? Bahkan Daeng Aziz, yang konon penguasa Kalijdo, menyatakan setuju 150%. Masalahnya, isi Kalijodo tak melulu prostitusi. Ada ratusan penghuni lain yang mencari nafkah dan tinggal di sana.

Sekadar saran, kalau ingin menegakkan hukum, hendaknya tidak tebang pilih. Jangan diulangi lagi modus seperti yang sudah-sudah. Digusur yang kelas ecek-ecek, tapi didiamkan (tutup mata atau dilegalkan?) yang kelas kakap.

Dalam praktiknya, hukum kita tak ubahnya dengan sebilah pisau. Dia tajam ke bawah (rakyat jelata) tapi tumpul ke atas (mereka yang berduit dan/atau kekuasaan).

Menggusur jika hanya sekadar menggusur hanya akan melahirkan masalah sosial baru. Lepas dari soal bahwa lahan yang ditempati masyarakat di Kalijodo berstatus “tanah negara”, apakah rusun buat warga Kalijodo (yang akan tergusur) sudah disiapkan?

Di mana lokasinya? Kalau nggak matang dalam perumusan program relokasi, bisa-bisa mereka justru makin stres dalam ketidakmenentuan.

Nurdin Umar Sanjoyo

Penjaringan, Jakarta Utara

Exit mobile version