PERSOALAN penurunan daya beli masyarakat diperdebatkan. Banyak variabel untuk mengukurnya. Inflasi salah satunya. Menurunnya tren inflasi yang disertai melambatnya permintaan domestik pada tahun ini dapat dijadikan indikator terjadinya merosotnya daya beli.
Selain inflasi, pertumbuhan daya beli bisa dilihat dari laju pertumbuhan PDB menurut jenis pengeluarannya. Pada triwulan III-2016, misalnya, laju konsumsi rumah tangga tumbuh 3,45% terhadap triwulan sebelumnya (month-to-month). Sedangkan pada kuartal I-2017, hanya tumbuh 0,14% month-to-month.
Tak hanya laju pengeluaran rumah tangga, konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) juga menunjukkan penuruna. secara month-to-month. Pertumbuhan konsumsi pemerintah mengalami nasib yang sama. Pada triwulan I-2017 berada di level minus 45,45% dari yang tadinya 39,49% pada triwulan IV-2016.
Meskipun indikator penurunan daya beli terlihat, perubahan pola konsumsi sebagaimana yang digembar-gemborkan pemerintah bukanlah faktor tunggal. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, klaim perubahan pola harus dilihat dari jenis produknya. “Itu cuma nol koma sekian persen,” ujar Solihin.
Senada dengan Solihin, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut perdagangan di daring memang tumbuh pesat, tetapi tidak mencerminkan laju yang absolut.Faktor lain yang menyebabkan daya beli cenderung menurun karena penyusutan lapangan kerja pada sektor formal. Ini menyangkut masyarakat yang berada di kelas menengah ke bawah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, secara terang-terangan membantah klaim pemerintah yang menyebut pergeseran pola belanja. Said Iqbal berpendapat penurunan daya beli terjadi akibat upah murah. “Masyarakat kelas menengah ke bawah tetap saja daya belinya turun, karena faktanya rakyat terbebani, listrik mahal dan harga-harga yang semakin meningkat”.●(dd)