
PeluangNews, Jakarta – Rencana penerapan pungutan ekspor (PE) kelapa bulat bukan untuk menghambat ekspor, melainkan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan ekspor dan kebutuhan atau pasar dalam negeri.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Perdagangan Budi Santoso di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (23/5/2025).
“Bukan berarti biar ekspornya kurang ya. Jadi ekspor tetap boleh, tapi nanti kita juga menggunakan bea ekspor,” kata Budi.
Dia mengatakan, harga ekspor kelapa bulat yang tinggi membuat banyak petani lebih memilih menjual hasil panen keluar negeri. Sehingga pasokan kelapa bagi pelaku industri dalam negeri yang juga membutuhkan bahan baku mengalami penurunan.
“Sebagian pelaku industri ini tidak mendapatkan pasokan ya. Harga ekspornya lebih tinggi daripada di dalam negeri, kan otomatis petani maunya ekspor,” ujarnya
Menurut dia, stok kelapa bulat di beberapa daerah sebenarnya masih tersedia. Meski begitu, dinilainya perlu ada langkah antisipatif dari pemerintah agar tidak terjadi ketimpangan distribusi.
“Kita harus antisipasi, agar ada keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspor. Kita cari solusi yang terbaik,” imbuhnya
Menurut Budi, kebijakan bea ekspor ini, masih dalam tahap pembahasan lintas sektor, termasuk menentukan besaran pungutannya. Dia menuturkan rapat finalisasi akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Belum tahu berapa (besarannya), tapi seharusnya minggu ini atau minggu depan sudah selesai rapatnya,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PEN) Kementerian Perdagangan Fajarini Puntodewi mengatakan kebijakan terkait ekspor kelapa bulat masih dalam tahap pembahasan.
Dia menyampaikan pembahasan mengenai kebijakan ekspor kelapa harus memperhatikan kepentingan hulu dan hilir. Pembahasan untuk kebijakan ini akan terus bergulir.
“Nantinya kebijakan baru ini akan memihak kepada perlindungan pasar dalam negeri, sekaligus tetap mendorong peningkatan ekspor,” kata Fajarini. []