Opini  

Mencari Terobosan Baru dalam Sistem Pengawasan Koperasi di Indonesia

Mencari Terobosan Baru dalam Sistem Pengawasan Koperasi di Indonesia
Prof.Ahmad Subagyo/dok.peluangnews

Oleh:  Ahmad Subagyo*

Koperasi, soko guru perekonomian Indonesia yang telah lama menjadi tulang punggung pemberdayaan ekonomi masyarakat, kini menghadapi tantangan besar dalam hal pengawasan dan penjaminan mutu. Di tengah pesatnya perkembangan ekonomi digital dan kompleksitas bisnis modern, sistem pengawasan koperasi yang ada saat ini terasa semakin ketinggalan zaman. Namun, sebuah ide inovatif muncul dari ranah pendidikan tinggi yang mungkin bisa menjadi solusi: adaptasi model akreditasi perguruan tinggi untuk pengawasan koperasi.

Bayangkan sebuah sistem di mana koperasi-koperasi di seluruh Indonesia dinilai secara berkala oleh tim ahli independen, menggunakan standar yang terukur dan transparan. Sistem ini tidak hanya akan memastikan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga mendorong peningkatan kualitas dan inovasi dalam pengelolaan koperasi. Inilah visi yang ditawarkan oleh model pengawasan koperasi berbasis akreditasi.

Mengapa perubahan ini diperlukan? Faktanya, sistem pengawasan koperasi yang ada saat ini menghadapi berbagai kendala serius. Pertama, jumlah pengawas koperasi sangat tidak sebanding dengan jumlah koperasi yang harus diawasi. Bayangkan, pada tahun 2024 saja terdapat lebih dari 150.000 unit koperasi di Indonesia, sementara jumlah pengawas hanya 1.732 orang. Sebagai contoh, di Provinsi Sulsel, hanya ada 11 orang pengawas untuk mengawasi seluruh koperasi di wilayah tersebut yang berjumlah 120 unit.

Selain itu, infrastruktur dan ekosistem pengawasan masih jauh dari memadai. Tidak ada sistem informasi terpadu atau mekanisme pelaporan yang efisien, membuat proses pengawasan menjadi lambat dan tidak efektif. Belum lagi masalah kesenjangan pengetahuan antara pengawas dan praktisi koperasi, serta keterbatasan anggaran yang membuat pengawasan komprehensif menjadi sulit dilakukan.

Lantas, bagaimana model akreditasi perguruan tinggi bisa menjadi solusi? Mari kita lihat beberapa elemen kuncinya. Pertama, pembentukan Lembaga Akreditasi Koperasi Mandiri (LAKM) yang independen. Lembaga ini akan bertugas melakukan akreditasi dan pengawasan terhadap koperasi, mirip dengan peran Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dalam dunia pendidikan tinggi.

LAKM akan merekrut asesor dari kalangan praktisi koperasi berpengalaman, akademisi, dan profesional di bidang koperasi. Para asesor ini akan melalui proses seleksi dan sertifikasi yang ketat, memastikan mereka memiliki kompetensi dan integritas yang diperlukan. Dengan demikian, penilaian terhadap kinerja koperasi bisa dilakukan secara lebih objektif dan terhindar dari konflik kepentingan.

Proses akreditasi akan dilakukan secara berkala, misalnya setiap tiga atau lima tahun sekali. Koperasi akan dinilai menggunakan instrumen yang terstandar, mencakup berbagai aspek seperti tata kelola, kinerja keuangan, manajemen risiko, hingga dampak sosial ekonomi. Proses ini akan melibatkan evaluasi dokumen, kunjungan lapangan, dan penilaian komprehensif.

Untuk mendukung sistem ini, akan dikembangkan Sistem Informasi Akreditasi Koperasi (SIAK) yang terintegrasi. SIAK akan memfasilitasi pengajuan dan evaluasi dokumen secara online, penjadwalan kunjungan, pelaporan hasil penilaian, hingga publikasi hasil akreditasi. Dengan sistem ini, proses pengawasan menjadi lebih efisien dan transparan.

Yang menarik, hasil akreditasi bisa menjadi dasar pemberian insentif oleh pemerintah. Koperasi dengan akreditasi unggul misalnya, bisa mendapatkan akses pendanaan khusus atau prioritas dalam program pemerintah. Sementara koperasi dengan akreditasi kurang akan mendapat pembinaan intensif untuk perbaikan.

Tentu saja, implementasi sistem baru ini akan menghadapi tantangan. Resistensi terhadap perubahan, kebutuhan investasi awal yang besar, hingga masalah pemerataan akses bagi koperasi di daerah terpencil adalah beberapa di antaranya. Namun, dengan strategi yang tepat, seperti sosialisasi intensif, kerjasama dengan berbagai pihak, dan pemanfaatan teknologi, tantangan-tantangan ini bisa diatasi.

Pada akhirnya, model pengawasan koperasi berbasis akreditasi ini menawarkan banyak manfaat. Selain meningkatkan objektivitas dan independensi pengawasan, sistem ini juga mendorong standarisasi penilaian, efisiensi sumber daya, peningkatan kompetensi, serta transparansi dan akuntabilitas koperasi. Yang tak kalah penting, sistem ini akan menciptakan budaya perbaikan berkelanjutan di kalangan koperasi Indonesia.

Dengan terobosan ini, kita bisa membayangkan masa depan di mana koperasi-koperasi Indonesia tidak hanya patuh pada regulasi, tetapi juga berdaya saing tinggi dan mampu berkontribusi lebih besar pada perekonomian nasional. Inilah saatnya kita melangkah maju, meninggalkan sistem pengawasan koperasi yang usang, dan menyongsong era baru pengawasan koperasi yang lebih efektif, transparan, dan mendorong kemajuan. Melalui inovasi ini, kita bisa memastikan bahwa koperasi tetap relevan dan kuat sebagai soko guru perekonomian Indonesia di era modern. (#)

*) Ketum IMFEA, ADEKMI dan Wakil rektor III IKOPIN University

Exit mobile version